Sejumput Harapan dari Tepi Rel Kereta
Terlahir di sebuah rumah yang hanya berjarak 10 meter dari rel kereta, menjadikan kereta api bukanlah sesuatu yang asing bagi saya. Ibarat pepatah “bagai beliung dengan asahan”, sejak saya kecil, keberadaan kereta api seolah menjadi hal yang tak terpisahkan dalam kehidupan. Kala itu, kedatangannya sering kali memberi hiburan tersendiri bagi kami, anak-anak yang tinggal tak jauh dari jalur rel kereta. Kencangnya suara klakson, sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan gemerisik lajunya pun sudah menjadi musik pengantar tidur sehari-hari.
Kereta api, alat transportasi ini memang banyak dijadikan sebagai pilihan masyarakat Indonesia untuk melakukan perjalanan. Khususnya, masyarakat di Pulau Jawa dan Sumatera, karena di kedua pulau inilah jalur kereta api terpasang. Namun, membicarakan perkeretaapian Indonesia tak hanya sekadar berbicara tentang panjangnya jalur rel kereta semata. Lebih dari itu, membahas tentang perkeretaapian Indonesia ibarat mengisahkan sebuah perjalanan yang panjang. Sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak dulu hingga kini. Dan bersyukur, saya menjadi sepenggal bagian kecil dari saksi perkembangan perkeretaapian di Indonesia dari masa ke masa.
Wajah Kereta Api Dulu hingga Kini
Penuh dan sesak. Mungkin, dua kata itulah yang paling tepat untuk menggambarkan wajah kereta api 18 tahun yang lalu, saat pertama kali saya menaikinya. Tepatnya, ketika saya lulus SMP dan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Kota Malang, Jawa Timur. Sejak saat itu hingga lulus kuliah di tahun 2007, kereta api nyaris menjadi moda transportasi utama bagi saya. Sehingga tak terhitung sudah berapa kali saya naik kereta. Mulai Matarmaja, Logawa, Purbaya, Gaya Baru Malam, Dhoho, hingga Penataran, semua sudah pernah saya naiki.
Selama sewindu itu, bagi saya, kondisi kereta api tidaklah jauh berbeda. Hampir setiap perjalanan Kutoarjo ke Malang dan sebaliknya, gerbong kereta selalu penuh dan sesak. Jangankan mendapat tempat duduk, bisa berdiri di sambungan atau di balik pintu kereta pun, sudah menjadi hal yang patut untuk disyukuri. Belum lagi saat musim lebaran tiba, maka akan sering kita jumpai banyaknya penumpang yang bergelantungan di pintu-pintu kereta.Tak hanya penuh dan sesak, pada masa-masa itu, kereta api juga jauh dari kata nyaman. Bayangkan saja, hampir setiap saat para pedagang asongan lalu lalang di sepanjang gerbong kereta untuk menawarkan dagangannya. Suara mereka beradu keras dengan para pengamen yang entah menyanyikan lagu apa. Belum lagi keberadaan pencopet yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, sebagaimana yang pernah saya temui saat melakukan perjalanan dari Malang ke Surabaya.
Kereta api, alat transportasi ini memang banyak dijadikan sebagai pilihan masyarakat Indonesia untuk melakukan perjalanan. Khususnya, masyarakat di Pulau Jawa dan Sumatera, karena di kedua pulau inilah jalur kereta api terpasang. Namun, membicarakan perkeretaapian Indonesia tak hanya sekadar berbicara tentang panjangnya jalur rel kereta semata. Lebih dari itu, membahas tentang perkeretaapian Indonesia ibarat mengisahkan sebuah perjalanan yang panjang. Sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak dulu hingga kini. Dan bersyukur, saya menjadi sepenggal bagian kecil dari saksi perkembangan perkeretaapian di Indonesia dari masa ke masa.
Wajah Kereta Api Dulu hingga Kini
Penuh dan sesak. Mungkin, dua kata itulah yang paling tepat untuk menggambarkan wajah kereta api 18 tahun yang lalu, saat pertama kali saya menaikinya. Tepatnya, ketika saya lulus SMP dan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Kota Malang, Jawa Timur. Sejak saat itu hingga lulus kuliah di tahun 2007, kereta api nyaris menjadi moda transportasi utama bagi saya. Sehingga tak terhitung sudah berapa kali saya naik kereta. Mulai Matarmaja, Logawa, Purbaya, Gaya Baru Malam, Dhoho, hingga Penataran, semua sudah pernah saya naiki.
Selama sewindu itu, bagi saya, kondisi kereta api tidaklah jauh berbeda. Hampir setiap perjalanan Kutoarjo ke Malang dan sebaliknya, gerbong kereta selalu penuh dan sesak. Jangankan mendapat tempat duduk, bisa berdiri di sambungan atau di balik pintu kereta pun, sudah menjadi hal yang patut untuk disyukuri. Belum lagi saat musim lebaran tiba, maka akan sering kita jumpai banyaknya penumpang yang bergelantungan di pintu-pintu kereta.Tak hanya penuh dan sesak, pada masa-masa itu, kereta api juga jauh dari kata nyaman. Bayangkan saja, hampir setiap saat para pedagang asongan lalu lalang di sepanjang gerbong kereta untuk menawarkan dagangannya. Suara mereka beradu keras dengan para pengamen yang entah menyanyikan lagu apa. Belum lagi keberadaan pencopet yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, sebagaimana yang pernah saya temui saat melakukan perjalanan dari Malang ke Surabaya.
Pada kurun waktu itu juga, peron stasiun tak ubahnya seperti sebuah pasar bebas. Semua pedagang dengan leluasa bisa menggelar dagangannya di mana saja. Hal ini terjadi, tak lain karena para asongan dan pengantar penumpang diperbolehkan masuk ke peron, berbaur dengan para penumpang yang menunggu kereta datang. Untuk membeli tiket, calon penumpang juga harus melakukan antrean panjang, layaknya antrean sembako di pasar murah. Bahkan tak sedikit kita temui calo-calo yang bergentayangan di area stasiun dan sekitarnya. Cukup memprihatinkan.
Tetapi, lain dulu lain sekarang. Saat ini, wajah kereta api sudah banyak berubah. Setidaknya terlihat dari perjalanan jarak jauh yang saya lakukan dengan kereta api dua-tiga tahun yang lalu, ke Jombang dan Purwokerto. Dua perjalanan itu menjadi bukti, bahwa layanan kereta api sudah banyak mengalami peningkatan. Pemandangan penumpang yang berdesak-desakan di dalam kereta api, sudah tidak nampak lagi. Di stasiun dan gerbong kereta, juga sudah tidak kita temui lagi pedagang asongan dan pengamen jalanan. Wajah gerbong kereta dan stasiun benar-benar bersih, rapi, dan lebih nyaman dari sebelumnya.
Menunggu Prambanan Ekspres
Tak berhenti di situ saja. Di tengah perkembangan era digital yang begitu pesat ini, PT. KAI ternyata juga berhasil menjawab tantangan zaman. Sebagai contoh, jika dulu kita harus mendapatkan tiket dengan jalan mengantre, maka saat ini tiket bisa dipesan melalui reservasi secara online. Semakin praktis dan memudahkan para penumpang tentunya. Di era keterbukaan ini, PT. KAI juga mengeluarkan Maklumat Pelayanan Informasi Publik bagi masyarakat, sebagai bentuk partisipasinya dalam pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance (GCG).Atas dasar berbagai peningkatan dan perbaikan kualitas itulah, maka sampai dengan hari ini, saya pun masih setia menggunakan kereta api sebagai sarana transportasi utama untuk pulang-pergi dari dan ke kampung halaman. Ramahnya biaya, bebas macet, dan kenyamanan sudah pasti menjadi tiga di antara beberapa alasan saya untuk tetap menggunakan jasa transportasi ini.
Sejumput Harapan di Masa Mendatang
Pada tahun 2017 ini, usia Kereta Api Indonesia telah menginjak di angka 72. Usia yang sudah tidak muda lagi tentunya. Mengingat selama 72 tahun kiprah PT. KAI di dunia perkeretaapian Indonesia, sudah banyak sekali perubahan yang dilakukannya ke arah yang lebih baik. Dan bagi saya sendiri, angka 72 itu mengandung banyak makna sekaligus pengharapan bagi perkeretaapian Indonesia di masa mendatang. Apa saja?
Pertama, angka 72 adalah jumlah stupa di Candi Borobudur. Menurut para ahli sejarah, pembuatan stupa sejumlah 72 itu, bukanlah tanpa alasan. Melainkan, ada tujuan tertentu di baliknya. Konon, menurut masyarakat Jawa pada masa itu, dibangunnya 72 stupa ini dimaksudkan sebagai penanda awal musim atau waktu tertentu. Layaknya 72 stupa sebagai penanda awal musim baru, seluruh masyarakat Indonesia, termasuk saya, tentu sangat berharap agar HUT ke-72 PT. KAI ini, bisa menjadi momentum bagi PT. KAI untuk selalu memperbaharui mutu pelayanannya.
Usia 72 memang bukan usia muda, tapi tidaklah semestinya jika PT. KAI menampilkan sosok wajah layaknya manusia di usia senja. Sehingga sudah seharusnya PT. KAI selalu berkomitmen untuk meremajakan dirinya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Untuk meremajakan diri di usia senja, banyak hal yang bisa ditempuh. Mulai dengan menumbuh kembangkan gagasan baru, melakukan tindakan perbaikan yang berkelanjutan, hingga menciptakan lingkungan yang kondusif untuk berkreasi, sehingga memberikan nilai tambah bagi stakeholder yang ada.
Tiba di Stasiun Maguwo Yogyakarta
Kedua, 72 adalah nomor urutan atom Hafnium (Hf) dalam tabel periodik. Hafnium merupakan salah satu unsur kimia yang tergolong dalam kategori logam grup 4. Pada dasarnya, Hafnium ini menghasilkan lapisan pelindung yang kuat dan memiliki sifat ketahanan korosi yang tinggi terhadap udara. Jika dikaitkan dengan angka 72 tahun kiprah perkeretaapian Indonesia, maka harapan seluruh masyarakat Indonesia adalah agar PT. KAI menjadi BUMN yang semakin kuat dalam hal profitabilitasnya, sehingga dapat memberikan kontribusi optimal bagi negara di masa yang akan datang.Dan ketiga, 72 adalah suhu maksimal ruangan yang baik dalam skala Fahrenheit menurut Shalini Paruthi, pembicara dari American Academy of Sleep Medicine. Menurutnya, dalam suhu tersebut, seseorang akan dapat merasakan tidur dengan nyaman. Maka tidaklah berlebihan jika pada peringatan Hari Kereta Api ke-72 ini, saya dan pelanggan kereta api lainnya sangat berharap agar PT. KAI selalu meningkatkan pelayanan primanya di masa yang akan datang.
Memang, kiprah PT. KAI untuk perkeretaapian Indonesia selama ini sudah cukup membanggakan. Namun, tak bisa dipungkiri, masih banyak pekerjaan rumah yang masih harus diperbaiki. Sebagai satu gambaran saja, pada KA. Prameks atau Prambanan Ekspress. Kereta lokal yang menghubungkan Kutoarjo, Yogyakarta, dan Solo Balapan ini kerap saya gunakan untuk mudik dari Prambanan ke kampung halaman. Paling tidak selama 7 tahun terakhir ini, sejak saya merantau ke Prambanan, Klaten.
Adapun kendalanya adalah berkaitan dengan masalah tiket. Sering kali, saat akan membeli tiket kereta Prameks ini, banyak calon penumpang yang kecewa karena kehabisan tiket. Dan saya rasa, kendala ini juga dirasakan oleh banyak calon penumpang kereta yang lain. Oleh karena itu, sejumput harapan saya dalam waktu dekat ini adalah agar PT. KAI dapat menganalisa kembali jumlah kebutuhan penumpang yang ada. Untuk kemudian mengambil kebijakan baru yang bisa bermanfaat langsung bagi masyarakat. Entah itu dengan menambah gerbong dalam rangkaian kereta, menambah waktu keberangkatan, dan lain sebagainya. Sehingga, slogan KAI “Anda adalah prioritas kami” benar-benar dapat diwujudkan.
Dirgahayu Kereta Api ke-72 Tahun! Semoga menjadi moda transportasi yang semakin melekat di hati masyarakat.
udah langganan naik kereta api pas pulang kampung, sekerang kereta lokal pun bersih dan gak ada pedagang asongan, tapi kalau pas gak bawa bekal yang kelaperan gak bisa beli makan haha
ReplyDeletePasti naiknya Penataran atau Dhoho? Ya bawa jajan sendiri lah Mas.. Minimal minuman.. hehehe
DeletePernah mengunjungi teman yang rumahnya di dekat rel KA. Tiap ada kereta lewat, lantai serasa bergetar.
ReplyDelete