Teladan dari Abu Hanifah
Lelaki kurus itu hidup di Kota Kufah, akhir abad ke-7. Tak banyak yang tahu kalau dia yang kali pertama menemukan cara membuat ubin lantai di masa itu. Sebagai saudagar, ia dikenal praktis, meski tidak terperangkap jadi pragmatis. Sepenjuru kota tahu, dialah yang mengogahi kompromi, sekalipun untuk sesuatu yang menguntungkan dirinya. Tak banyak cakap, namun dikenal bijak beragumentasi --pandai menjaga perasaan mitra diskusi. Dan ia, juga seorang ulama ternama. Dialah Abu Hanifah, dikenal sebagai Imam Hanafi, salah satu pendiri mazhab fiqh Islam.
Adakah ia seorang cerdas? Lebih dari itu, boleh jadi ia orang yang paling berhati-hati menjaga diri dari syubhat, apalagi yang haram. Ia keras terhadap diri sendiri. Suatu hari, telah tiba beberapa ekor domba hasil rampasan yang tercampur dengan ternak milik penduduk Kufah. Berita lekas menyebar dan sampai ke telinga Abu Hanifah. Sontak ia mencari tahu, "Berapa tahun biasanya umur seekor domba?" Seorang penggembala menjawab, "Tujuh tahun!" Lantaran itu, selama tujuh tahun ia mengharamkan daging domba masuk ke lambungnya.
Suatu kali, 10.000 dirham dikirimkan Khalifah Ja'far al Manshur sebagai hadiah. Lelaki itu hanya berucap pendek, "Taruh saja di sudut rumah." Hingga kematiannya, ia tak pernah sentuh. Sepeninggalnya, ternyata ia mewasiatkan puteranya untuk mengembalikan uang itu pada Baitul Maal.
Puncak penolakan Abu Hanifah akhirnya tak terelakkan saat sang khalifah menunjuknya sebagai hakim agung (qadhi al qudha). Ia menolak, karena kekuasaan yang telanjur dianggapnya terlalu banyak distorsi yang kelewatan. Khalifah yang tak terima alasan itu mengirim Abu Hanifah ke bui. Di sana ia dipukul dan dicambuk. Punggungnya menebal beberapa senti, kapalan ternyata, akibat cemeti yang menyabetnya nyaris setiap hari.
Masih di dalam penjara, Khalifah Ja'far menjenguknya. Ia masih membujuk Abu Hanifah untuk menerima tawaran sebagai hakim agung --sekaligus menghadiahi uang dalam jumlah yang lebih besar, 30.000 dirham. Abu Hanifah singkat bertutur, "Apakah kekhalifahan masih memiliki uang yang halal?" Wajah Ja'far al Manshur memucat. Malu, juga marah. Hingga kematiannya, Abu Hanifah tetap hidup dalam penjara, bersama siksa yang tak kunjung reda. Lehernya, sejak itu, dikalungi rantai seorang pesakitan.
Adakah Abu Hanifah keras kepala? Atau, hatinya memang sekeras batu? Tentu tidak. Semua orang tahu, ia keras terhadap diri sendiri, namun ringan memberi fatwa bagi para pengikutnya. Ia lembut bersuara, sekaligus merangsang lawan bicara untuk membantahnya, "Demikianlah pendapat kami (Abu Hanifah), dan ini yang sebaik-baiknya sepanjang pengetahuan kami. Bila datang keterangan yang lebih baik, dialah yang lebih utama diikuti."
Maka, terkenanglah kini seorang ulama yang meneguhkan kemerdekaan berpikir, sebuah kemerdekaan yang mampu mengatasi dua pertarungan besar. Pertama, kemerdekaan yang mampu membebaskan diri dari rasa takut, bersikap tegas atas rayuan, ataupun ancaman kekuasaan. Kedua, kemerdekaan yang membebaskan diri dari sikap "tahu segala hal" dan merasa “paling benar sendiri”. Seolah meneguhkan, berbilang abad kemudian Ar-Rumi pun bertanya, "Tak tahukah engkau, ada banyak jalan menuju Ka'bah?"
Adakah ia seorang cerdas? Lebih dari itu, boleh jadi ia orang yang paling berhati-hati menjaga diri dari syubhat, apalagi yang haram. Ia keras terhadap diri sendiri. Suatu hari, telah tiba beberapa ekor domba hasil rampasan yang tercampur dengan ternak milik penduduk Kufah. Berita lekas menyebar dan sampai ke telinga Abu Hanifah. Sontak ia mencari tahu, "Berapa tahun biasanya umur seekor domba?" Seorang penggembala menjawab, "Tujuh tahun!" Lantaran itu, selama tujuh tahun ia mengharamkan daging domba masuk ke lambungnya.
Suatu kali, 10.000 dirham dikirimkan Khalifah Ja'far al Manshur sebagai hadiah. Lelaki itu hanya berucap pendek, "Taruh saja di sudut rumah." Hingga kematiannya, ia tak pernah sentuh. Sepeninggalnya, ternyata ia mewasiatkan puteranya untuk mengembalikan uang itu pada Baitul Maal.
Puncak penolakan Abu Hanifah akhirnya tak terelakkan saat sang khalifah menunjuknya sebagai hakim agung (qadhi al qudha). Ia menolak, karena kekuasaan yang telanjur dianggapnya terlalu banyak distorsi yang kelewatan. Khalifah yang tak terima alasan itu mengirim Abu Hanifah ke bui. Di sana ia dipukul dan dicambuk. Punggungnya menebal beberapa senti, kapalan ternyata, akibat cemeti yang menyabetnya nyaris setiap hari.
Masih di dalam penjara, Khalifah Ja'far menjenguknya. Ia masih membujuk Abu Hanifah untuk menerima tawaran sebagai hakim agung --sekaligus menghadiahi uang dalam jumlah yang lebih besar, 30.000 dirham. Abu Hanifah singkat bertutur, "Apakah kekhalifahan masih memiliki uang yang halal?" Wajah Ja'far al Manshur memucat. Malu, juga marah. Hingga kematiannya, Abu Hanifah tetap hidup dalam penjara, bersama siksa yang tak kunjung reda. Lehernya, sejak itu, dikalungi rantai seorang pesakitan.
Adakah Abu Hanifah keras kepala? Atau, hatinya memang sekeras batu? Tentu tidak. Semua orang tahu, ia keras terhadap diri sendiri, namun ringan memberi fatwa bagi para pengikutnya. Ia lembut bersuara, sekaligus merangsang lawan bicara untuk membantahnya, "Demikianlah pendapat kami (Abu Hanifah), dan ini yang sebaik-baiknya sepanjang pengetahuan kami. Bila datang keterangan yang lebih baik, dialah yang lebih utama diikuti."
Maka, terkenanglah kini seorang ulama yang meneguhkan kemerdekaan berpikir, sebuah kemerdekaan yang mampu mengatasi dua pertarungan besar. Pertama, kemerdekaan yang mampu membebaskan diri dari rasa takut, bersikap tegas atas rayuan, ataupun ancaman kekuasaan. Kedua, kemerdekaan yang membebaskan diri dari sikap "tahu segala hal" dan merasa “paling benar sendiri”. Seolah meneguhkan, berbilang abad kemudian Ar-Rumi pun bertanya, "Tak tahukah engkau, ada banyak jalan menuju Ka'bah?"
0 Tanggapan untuk "Teladan dari Abu Hanifah"
Post a Comment