Di Atas Sajadah Cinta
Kota Kufah terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegak menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teduh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya ’Zahid’ atau ’Si Ahli Zuhud’, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan dan paling mencintai masjid di Kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota itu. Saat itu masjid adalah pusat pendidikan, peradaban, informasi dan perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat-ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuhnya bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala di hadapannya. Namun jika sampai pada ayat-ayat nikmat dan syurga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur seluruh tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surah Asy-Syams, ia menangis,
”fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
Qad aflaha man zakkaaha
Wa qad khaaba man dassaaha...
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan merugilah orang yang mengotorinya...)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah ia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya? Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk orang yang beruntung ataukah yang merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.
***
sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-pampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari dengan riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar dari 3 lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh mempesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair cinta.
”in kuntu ’asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq
...”
(jika aku pecinta malam maka gelasku memancarkan cahaya dan cinta yang mekar...)
Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orang tuanya menyunggingkan senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata,
”Abu Afirah, puteri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair yang ia dendangkan.”
”Ya, itu syair cinta. Memang sudah saatnya ia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
”Bagaimana, kau terima atau...”
“Ya jelas langsung aku terima. Dia kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang menolong kita dahulu waktu kesusahan. Di samping itu Yasir gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”
“Tak perlu! Tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
”Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
”Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”
***
Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah tidak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya, seorang penari melenggak lenggokkkan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
”Ayo bangun Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” Bisik temannya
”Be...benarkah?”
”Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini!”
”Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari diiringi irama gendang dan seruling. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ke telinga Yasir,
”Apakah anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.
***
Keesokan harinya.
Usai sholat dhuha, zahid meninggalkan mesjid menuju pinggiran kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berdzikir membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel untuk saudaranya yang sakit tersebut.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu terus mendekat dan membesar. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang yang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya mendengar suara’
”Tolooong...tolooong!!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu makin jelas.
Suara minta tolong itu makin jelas juga. Suara seorang perempuan. Dan matanya bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
”Tolooong! Tolooong hentikan kuda ini! Ia tak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu makin dekat dan tinggal beberapa meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat, ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
”Hai kuda makhluk ALLAH, berhentilah dengan izin ALLAH!”
bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada di punggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekat dan menyapanya,
”Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan’
”AlhamduliLlah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
”Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik dan mempesona.
”Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama tuan, dari mana dan mau ke mana tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih di depannya. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah pertama kalinya ia menatap gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona. Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. ”Inna liLlah. AstaghfuruLlah,” gemuruh hatinya.
”Namaku Zahid. Aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”
”Jadi kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya Cuma di dalam masjid?”
”Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
”Tunggu dulu tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
”Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zaid. Terang saja Zaid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
”Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silahkan datang ke rumahku. Ayahku pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
”Tidak usah.”
”Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zaid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.
***
Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang tentang keshalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengar tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
”Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Robbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Robbi, izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,
”Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”
Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matannya.
***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Qur’an dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat se-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.
“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Maha Tahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan Cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya. Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segenap keindahan semesta.
Zahid terus meratap dan menghiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu makin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan adzab-Nya. Rasa cinta dan rindunya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangan. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya, ia kembali pingsan.
Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belum shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah, bercengkrama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di syurga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah, maka berilah kekuatan.”
Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Dalam sujudnya ia berdo’a,
”Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan syurga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murka-Mu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggungnya. Amin. Ilahi, hamba mohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu dan ridha-Mu. Amin.”
***
Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu rumah Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orang tua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketaqwaannya seantero penjuru kota. Afirah keluar sekejap untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala, ia pasrah dengan jawaban yang akan ia terima. Lalu terdengar jawaban ayah Afirah,
“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar oleh Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukkan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.
***
Zahid kembali ke mesjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketaqwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istighfar dan ... Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telingan Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,
Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau, aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau, kau datanglah ke kamarku, aku akan tunjukkan jalan dan waktunya.
Wassalam.
Afirah
Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis balasan untuk Afirah:
Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ’Azza Wa Jalla. Inilah yang kudamba. Dan aku kau ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret pada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari syurga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, ”Inni akhaafu in ’ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ’adhim!”(Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabbku. Az-Zumar:13)
Afirah,
Jika kita terus bertaqwa, Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firman-Nya:
”Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu syurga).”
karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha menjaga kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allah-lah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam.
Zahid
Begitu membaca jawaban Zahid itu, Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda shaleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.
Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamour. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat di mana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa, malam ia habiskan dengan munajat kepada Tuhannya. Di atas sajadah putih itu ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah:
Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar bagi hamba-Nya yang bertaqwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah RasuluLlah SAW secepatnya.
Wassalam,
Afirah
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab Masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran di dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan AlhamduliLlah.
***
Di Atas Sajadah Cinta
Habiburrahman El-Shirazy
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegak menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teduh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya ’Zahid’ atau ’Si Ahli Zuhud’, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan dan paling mencintai masjid di Kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota itu. Saat itu masjid adalah pusat pendidikan, peradaban, informasi dan perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat-ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuhnya bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala di hadapannya. Namun jika sampai pada ayat-ayat nikmat dan syurga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur seluruh tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surah Asy-Syams, ia menangis,
”fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
Qad aflaha man zakkaaha
Wa qad khaaba man dassaaha...
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan merugilah orang yang mengotorinya...)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah ia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya? Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk orang yang beruntung ataukah yang merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.
***
sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-pampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari dengan riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar dari 3 lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh mempesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair cinta.
”in kuntu ’asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq
...”
(jika aku pecinta malam maka gelasku memancarkan cahaya dan cinta yang mekar...)
Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orang tuanya menyunggingkan senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata,
”Abu Afirah, puteri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair yang ia dendangkan.”
”Ya, itu syair cinta. Memang sudah saatnya ia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
”Bagaimana, kau terima atau...”
“Ya jelas langsung aku terima. Dia kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang menolong kita dahulu waktu kesusahan. Di samping itu Yasir gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”
“Tak perlu! Tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
”Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
”Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”
***
Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah tidak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya, seorang penari melenggak lenggokkkan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
”Ayo bangun Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” Bisik temannya
”Be...benarkah?”
”Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini!”
”Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari diiringi irama gendang dan seruling. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ke telinga Yasir,
”Apakah anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.
***
Keesokan harinya.
Usai sholat dhuha, zahid meninggalkan mesjid menuju pinggiran kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berdzikir membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel untuk saudaranya yang sakit tersebut.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu terus mendekat dan membesar. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang yang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya mendengar suara’
”Tolooong...tolooong!!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu makin jelas.
Suara minta tolong itu makin jelas juga. Suara seorang perempuan. Dan matanya bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
”Tolooong! Tolooong hentikan kuda ini! Ia tak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu makin dekat dan tinggal beberapa meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat, ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
”Hai kuda makhluk ALLAH, berhentilah dengan izin ALLAH!”
bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada di punggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekat dan menyapanya,
”Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan’
”AlhamduliLlah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
”Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik dan mempesona.
”Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama tuan, dari mana dan mau ke mana tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih di depannya. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah pertama kalinya ia menatap gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona. Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. ”Inna liLlah. AstaghfuruLlah,” gemuruh hatinya.
”Namaku Zahid. Aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”
”Jadi kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya Cuma di dalam masjid?”
”Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
”Tunggu dulu tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
”Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zaid. Terang saja Zaid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
”Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silahkan datang ke rumahku. Ayahku pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
”Tidak usah.”
”Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zaid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.
***
Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang tentang keshalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengar tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
”Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Robbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Robbi, izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,
”Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”
Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matannya.
***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Qur’an dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat se-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.
“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Maha Tahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan Cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya. Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segenap keindahan semesta.
Zahid terus meratap dan menghiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu makin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan adzab-Nya. Rasa cinta dan rindunya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangan. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya, ia kembali pingsan.
Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belum shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah, bercengkrama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di syurga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah, maka berilah kekuatan.”
Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Dalam sujudnya ia berdo’a,
”Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan syurga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murka-Mu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggungnya. Amin. Ilahi, hamba mohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu dan ridha-Mu. Amin.”
***
Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu rumah Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orang tua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketaqwaannya seantero penjuru kota. Afirah keluar sekejap untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala, ia pasrah dengan jawaban yang akan ia terima. Lalu terdengar jawaban ayah Afirah,
“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar oleh Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukkan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.
***
Zahid kembali ke mesjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketaqwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istighfar dan ... Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telingan Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,
Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau, aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau, kau datanglah ke kamarku, aku akan tunjukkan jalan dan waktunya.
Wassalam.
Afirah
Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis balasan untuk Afirah:
Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ’Azza Wa Jalla. Inilah yang kudamba. Dan aku kau ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret pada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari syurga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, ”Inni akhaafu in ’ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ’adhim!”(Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabbku. Az-Zumar:13)
Afirah,
Jika kita terus bertaqwa, Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firman-Nya:
”Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu syurga).”
karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha menjaga kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allah-lah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam.
Zahid
Begitu membaca jawaban Zahid itu, Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda shaleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.
Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamour. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat di mana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa, malam ia habiskan dengan munajat kepada Tuhannya. Di atas sajadah putih itu ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah:
Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar bagi hamba-Nya yang bertaqwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah RasuluLlah SAW secepatnya.
Wassalam,
Afirah
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab Masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran di dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan AlhamduliLlah.
***
Di Atas Sajadah Cinta
Habiburrahman El-Shirazy
0 Tanggapan untuk "Di Atas Sajadah Cinta"
Post a Comment