Selamatan, Tahlilan dan Yasinan
Ketika Islam diturunkan 1400-an tahun yang lalu, salah satu doktrinnya adalah memperbaiki kerusakan aqidah dan kehidupan manusia. Namun bila aqidah dan kerusakan itu tidak terjadi, maka Islam justru melestarikannya bahkan mengembangkannya menjadi peradaban besar.
Sebagai contoh, ketika Islam masuk Persia yang dulunya penyembah api, maka semua unsur yang positif dan sesuai dengan prinsip Islam justru diterima dan dikembangkan. Adapun yang bertentangan dengan Islam, maka dihilangkan dengan cara yang sangat baik.
Ketika Rasulullah SAW wafat, tidak pernah kita dapat masjid itu berkubah. Kubah itu sendiri bukan bagian dari adat orang jazirah arab. Namun seiring dengan perluasan wilayah Islam, beragam kebudayaan dan adat itu mengalami proses penyaringan dan pengembangan dalam peradaban Islam. Bila benar bahwa kebudayaan itu tidak bertentangan dengan prinsip Islam, sangat boleh jadi jutru akan mengalami pelestarian bahkan pengembangan luar biasa. Dan kubah itu adalah salah satunya sehingga seolah menjadi ciri khas masjid di berbagai belahan bumi. Meski kubah itu bukan bagian dari kriteria pembangunan masjid, tapi dia ada di mana-mana.
Budaya jawa tidak lepas dari proses penyaringan. Para juru dakwah generasi pertama yang datang ke nusantara ini tahu persis bahwa masyarakat jawa adalah orang yang tidak bisa dipisahkan dengan budayanya begitu saja. Karena berbagai pendekatan dilakukan sedemikian rupa sehingga meski masih kental dengan budaya jawa, namun sedikit demi sedikit ajaran Islam semakin dominan.
Memang semua itu adalah sebuah proses yang tidak boleh berhenti di tengah jalan. Islamisasi di tanah jawa sebenarnya adalah proses yang cukup berhasil. Karena bila kita lihat latar belakangnya yang kental dengan animisme, dinamisme, hindu dan budha, maka Islam adalah agama yang paling berhasil merangkul orang jawa. Bahkan dibandingkan zending dan misi kriten sekalipun.
Bahkan para raja hindu dan budha di tanah jawa pun akhirnya ramai-ramai memeluk Islam setelah rakyatnya. Hanya segelintir dari mereka yang berkeras hati dan akhirnya membentuk ‘benteng’ pertahanan yang terkonsentrasi di Bali hingga kini. Sehingga sudah menjadi aksioma bahwa jawa itu identik dengan Islam, sebagaimana arab itu identik dengan Islam.
Bahwa pada prakteknya, masih ada kepercayaan kejawen dan beragam ritual yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, itu sangat tergantung dari intensitas dakwah di suatu daerah. Bila basic dakwah disitu kurang dominan, biasanya pengaruh peninggalan hindu budha itu terkadang satu-dua masih tersembul ke permukaan. Ini adalah suatu yang yang manusiawi. Jangankan di jawa, di tanah arab saja yang konon negeri para nabi, praktek kemusyrikan dan sihir pun masih banyak hingga kini. Meski dakwah salafiyah dominan, namun di banyak pelosok praktek seperti di jawa pun maish bisa ditemukan.
Sebagai orang Indonesia, kita adalah muslim yang paling tahu bagaimana melakukan Islamisasi dan pendekatannya. Secara umum, pendekatan orang jawa itu bukanlah pendekatan debat dan adu argumen, tapi lebih kepada pendekatan psikologis dan sosial. Barangkali karena itulah dahulu wali di tanah jawa mengembangkan seni wayang untuk dakwah lepas dari kontroversi di kalangan mereka sendiri.
Tentu saja bukan berarti kini kita harus menghidupkan wayang di zaman ini, tapi raihlah generasi muda jawa ini dengan pendidikan dan peradaban. Bila strategi ini berhasil, mereka sendiri yang akan meninggalkan semua ritual yang tidak sesuai dengan aqidah Islam. Sayangnya, proses seperti ini tidak selalu berjalan mulus. Akibatnya, masih ada saja yang menjalankan ritual-ritual seperti itu. Seharusnya, para da`i dan muballlgih tidak hanya berpikir pada batas ceramah dan fatwa, tetapi juga pembinaan generasi muda, pendidikan, kesehatan dan sosial. Bila ini ditekuni, maka akan lahir generasi baru yang benar-benar punya wawasan Islam yang baik. Generasi ini akan melahirkan generasi yang lebih baik hingga proses Islamisasi antara generasi itu berjalan secara baik pula.
Sedangkan pendekatan fatwa yang menyederhanakan masalah bahwa ini haram, itu bid`ah, ini kejawen dan itu musrik, maka tidak semua orang jawa dengan mudah bisa menerimanya. Alih-alih mau mendengarkan, bahkan bisa jadi mereka malah membuat front untuk bertahan.
Jadi ajaran Islam itu bila disampaikan dengan cara yang baik, umumnya akan membuat agama ini semakin banyak pengikutnya. Dan bila disampaikan dengan cara yang kurang simpatik, hanya akan melahirkan masalah baru yang bertumpuk.
Sedangkan khusus masalah hukum mengirim pahala kepada orang yang sudah wafat dengan bacaan Al-Quran Al-Kariem atau mendoakannya, maka sebenarnya ada dalil yang menyebutkannya. Meski ada juga pendapat yang menentangnya. Untuk itu marilah kita bedah satu persatu di antara sekian banyak pendapat ini :
A. PENDAPAT PERTAMA :
Orang mati tidak bisa menerima pahala ibadah orang yang masih hidup. Dalil atau hujjah yang digunakan adalah berdasarkan dalil:
”Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm:38-39)
”Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Yaasiin:54)
”Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (QS. Al Baqaraah 286)
Ayat-ayat diatas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang mempunyai maksud yang sama, bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat tambahan pahala kecuali yang disebutkan dalam hadits:
”Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’I dan Ahmad).
Bila Anda menemukan orang yang berpendapat bahwa orang yang sudah wafat tidak bisa menerima pahala ibadah dari orang yang masih hidup, maka dasar pendapatnya antara lain adalah dalil-dalil di atas.
Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan pendapat ini, karena memang ada juga dalil lainnya yang menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan sampainya pahala ibadah yang dikirimkan/dihadiahkan kepada orang yang sudah mati.
B. PENDAPAT KEDUA
Pendapat ini membedakan antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah. Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji, bila diniatkan untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal akan sampai kepada mayyit. Sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur’an tidak sampai. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan pendapat Madzhab Malik.
Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW:
”Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum” (HR An-Nasa’I).
Namun bila ibadah itu menggunakan harta benda seperti ibadah haji yang memerlukan pengeluaran dana yang tidak sedikit, maka pahalanya bisa dihadiahkan kepada orang lain termasuk kepada orang yang sudah mati. Karena bila seseorang memiliki harta benda, maka dia berhak untuk memberikan kepada siapa pun yang dia inginkan. Begitu juga bila harta itu disedekahkan tapi niatnya untuk orang lain, hal itu bisa saja terjadi dan diterima pahalanya untuk orang lain. Termasuk kepada orang yang sudah mati.
Ada hadits-hadits yang menjelaskan bahwa sedekah dan haji yang dilakukan oleh seorang hamba bisa diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal. Misalnya dua hadits berikut ini :
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya : ”Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul SAW menjawab :"Ya", Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya : ”Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
C. PENDAPAT KETIGA
Do’a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bisa bermanfaat untuk mayyit berdasarkan dalil berikut ini:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a : ”Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
a. Dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur. Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda:
”Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW – setelah selesai shalat jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW:
”bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur? Rasul SAW menjawab, “Ucapkan: Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti menyusul." (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya:” Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Shaum
Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya” (HR Bukhari dan Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya:” Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
e. Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda: Artinya:” Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
f. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ad halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya. Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Menurut pendapat ketiga ini, maka bila seseorang membaca Al-Fatihah dengan benar, akan mendatangkan pahala dari Allah. Sebagai pemilik pahala, dia berhak untuk memberikan pahala itu kepada siapa pun yang dikehendakinya termasuk kepada orang yang sudah mati sekalipun. Dan nampaknya, dengan dalil-dalil inilah kebanyakan masyarakat di negeri kita tetap mempraktekkan baca Al-Fatihah untuk disampaikan pahalanya buat orang tua atau kerabat dan saudra mereka yang telah wafat.
Tentu saja masing-masing pendapat akan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan hujjah mereka yang paling kuat. Namun sebagai muslim yang baik, sikap kita atas perbedaan itu tidak dengan menjelekkan atau melecehkan pendapat yang kiranya tidak sama dengan pendapat yang telah kita pegang selama ini. Karena bila hal itu yang diupayakan, hanya akan menghasilkan perpecahan dan kerusakan persaudaraan Islam.
Sudah waktunya bagi kita untuk bisa berbagi dengan sesama muslim dan berlapang dada atas perbedaan/ khilafiyah dalam masalah agama. Apalagi bila perbedaan itu didasarkan pada dalil-dalil yang memang mengarah kepada perbedaan pendapat. Dan fenomena ini sering terjadi dalam banyak furu` (cabang) dalam agama ini. Tentu sangat tidak layak untuk menafikan pendapat orang lain hanya karena ta`asshub atas pendapat kelompok dan golongan saja.
Sebagai contoh, ketika Islam masuk Persia yang dulunya penyembah api, maka semua unsur yang positif dan sesuai dengan prinsip Islam justru diterima dan dikembangkan. Adapun yang bertentangan dengan Islam, maka dihilangkan dengan cara yang sangat baik.
Ketika Rasulullah SAW wafat, tidak pernah kita dapat masjid itu berkubah. Kubah itu sendiri bukan bagian dari adat orang jazirah arab. Namun seiring dengan perluasan wilayah Islam, beragam kebudayaan dan adat itu mengalami proses penyaringan dan pengembangan dalam peradaban Islam. Bila benar bahwa kebudayaan itu tidak bertentangan dengan prinsip Islam, sangat boleh jadi jutru akan mengalami pelestarian bahkan pengembangan luar biasa. Dan kubah itu adalah salah satunya sehingga seolah menjadi ciri khas masjid di berbagai belahan bumi. Meski kubah itu bukan bagian dari kriteria pembangunan masjid, tapi dia ada di mana-mana.
Budaya jawa tidak lepas dari proses penyaringan. Para juru dakwah generasi pertama yang datang ke nusantara ini tahu persis bahwa masyarakat jawa adalah orang yang tidak bisa dipisahkan dengan budayanya begitu saja. Karena berbagai pendekatan dilakukan sedemikian rupa sehingga meski masih kental dengan budaya jawa, namun sedikit demi sedikit ajaran Islam semakin dominan.
Memang semua itu adalah sebuah proses yang tidak boleh berhenti di tengah jalan. Islamisasi di tanah jawa sebenarnya adalah proses yang cukup berhasil. Karena bila kita lihat latar belakangnya yang kental dengan animisme, dinamisme, hindu dan budha, maka Islam adalah agama yang paling berhasil merangkul orang jawa. Bahkan dibandingkan zending dan misi kriten sekalipun.
Bahkan para raja hindu dan budha di tanah jawa pun akhirnya ramai-ramai memeluk Islam setelah rakyatnya. Hanya segelintir dari mereka yang berkeras hati dan akhirnya membentuk ‘benteng’ pertahanan yang terkonsentrasi di Bali hingga kini. Sehingga sudah menjadi aksioma bahwa jawa itu identik dengan Islam, sebagaimana arab itu identik dengan Islam.
Bahwa pada prakteknya, masih ada kepercayaan kejawen dan beragam ritual yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, itu sangat tergantung dari intensitas dakwah di suatu daerah. Bila basic dakwah disitu kurang dominan, biasanya pengaruh peninggalan hindu budha itu terkadang satu-dua masih tersembul ke permukaan. Ini adalah suatu yang yang manusiawi. Jangankan di jawa, di tanah arab saja yang konon negeri para nabi, praktek kemusyrikan dan sihir pun masih banyak hingga kini. Meski dakwah salafiyah dominan, namun di banyak pelosok praktek seperti di jawa pun maish bisa ditemukan.
Sebagai orang Indonesia, kita adalah muslim yang paling tahu bagaimana melakukan Islamisasi dan pendekatannya. Secara umum, pendekatan orang jawa itu bukanlah pendekatan debat dan adu argumen, tapi lebih kepada pendekatan psikologis dan sosial. Barangkali karena itulah dahulu wali di tanah jawa mengembangkan seni wayang untuk dakwah lepas dari kontroversi di kalangan mereka sendiri.
Tentu saja bukan berarti kini kita harus menghidupkan wayang di zaman ini, tapi raihlah generasi muda jawa ini dengan pendidikan dan peradaban. Bila strategi ini berhasil, mereka sendiri yang akan meninggalkan semua ritual yang tidak sesuai dengan aqidah Islam. Sayangnya, proses seperti ini tidak selalu berjalan mulus. Akibatnya, masih ada saja yang menjalankan ritual-ritual seperti itu. Seharusnya, para da`i dan muballlgih tidak hanya berpikir pada batas ceramah dan fatwa, tetapi juga pembinaan generasi muda, pendidikan, kesehatan dan sosial. Bila ini ditekuni, maka akan lahir generasi baru yang benar-benar punya wawasan Islam yang baik. Generasi ini akan melahirkan generasi yang lebih baik hingga proses Islamisasi antara generasi itu berjalan secara baik pula.
Sedangkan pendekatan fatwa yang menyederhanakan masalah bahwa ini haram, itu bid`ah, ini kejawen dan itu musrik, maka tidak semua orang jawa dengan mudah bisa menerimanya. Alih-alih mau mendengarkan, bahkan bisa jadi mereka malah membuat front untuk bertahan.
Jadi ajaran Islam itu bila disampaikan dengan cara yang baik, umumnya akan membuat agama ini semakin banyak pengikutnya. Dan bila disampaikan dengan cara yang kurang simpatik, hanya akan melahirkan masalah baru yang bertumpuk.
Sedangkan khusus masalah hukum mengirim pahala kepada orang yang sudah wafat dengan bacaan Al-Quran Al-Kariem atau mendoakannya, maka sebenarnya ada dalil yang menyebutkannya. Meski ada juga pendapat yang menentangnya. Untuk itu marilah kita bedah satu persatu di antara sekian banyak pendapat ini :
A. PENDAPAT PERTAMA :
Orang mati tidak bisa menerima pahala ibadah orang yang masih hidup. Dalil atau hujjah yang digunakan adalah berdasarkan dalil:
”Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm:38-39)
”Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Yaasiin:54)
”Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (QS. Al Baqaraah 286)
Ayat-ayat diatas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang mempunyai maksud yang sama, bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat tambahan pahala kecuali yang disebutkan dalam hadits:
”Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’I dan Ahmad).
Bila Anda menemukan orang yang berpendapat bahwa orang yang sudah wafat tidak bisa menerima pahala ibadah dari orang yang masih hidup, maka dasar pendapatnya antara lain adalah dalil-dalil di atas.
Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan pendapat ini, karena memang ada juga dalil lainnya yang menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan sampainya pahala ibadah yang dikirimkan/dihadiahkan kepada orang yang sudah mati.
B. PENDAPAT KEDUA
Pendapat ini membedakan antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah. Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji, bila diniatkan untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal akan sampai kepada mayyit. Sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur’an tidak sampai. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan pendapat Madzhab Malik.
Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW:
”Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum” (HR An-Nasa’I).
Namun bila ibadah itu menggunakan harta benda seperti ibadah haji yang memerlukan pengeluaran dana yang tidak sedikit, maka pahalanya bisa dihadiahkan kepada orang lain termasuk kepada orang yang sudah mati. Karena bila seseorang memiliki harta benda, maka dia berhak untuk memberikan kepada siapa pun yang dia inginkan. Begitu juga bila harta itu disedekahkan tapi niatnya untuk orang lain, hal itu bisa saja terjadi dan diterima pahalanya untuk orang lain. Termasuk kepada orang yang sudah mati.
Ada hadits-hadits yang menjelaskan bahwa sedekah dan haji yang dilakukan oleh seorang hamba bisa diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal. Misalnya dua hadits berikut ini :
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya : ”Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul SAW menjawab :"Ya", Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya : ”Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
C. PENDAPAT KETIGA
Do’a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bisa bermanfaat untuk mayyit berdasarkan dalil berikut ini:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a : ”Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
a. Dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur. Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda:
”Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW – setelah selesai shalat jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW:
”bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur? Rasul SAW menjawab, “Ucapkan: Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti menyusul." (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya:” Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Shaum
Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya” (HR Bukhari dan Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya:” Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
e. Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda: Artinya:” Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
f. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ad halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya. Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Menurut pendapat ketiga ini, maka bila seseorang membaca Al-Fatihah dengan benar, akan mendatangkan pahala dari Allah. Sebagai pemilik pahala, dia berhak untuk memberikan pahala itu kepada siapa pun yang dikehendakinya termasuk kepada orang yang sudah mati sekalipun. Dan nampaknya, dengan dalil-dalil inilah kebanyakan masyarakat di negeri kita tetap mempraktekkan baca Al-Fatihah untuk disampaikan pahalanya buat orang tua atau kerabat dan saudra mereka yang telah wafat.
Tentu saja masing-masing pendapat akan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan hujjah mereka yang paling kuat. Namun sebagai muslim yang baik, sikap kita atas perbedaan itu tidak dengan menjelekkan atau melecehkan pendapat yang kiranya tidak sama dengan pendapat yang telah kita pegang selama ini. Karena bila hal itu yang diupayakan, hanya akan menghasilkan perpecahan dan kerusakan persaudaraan Islam.
Sudah waktunya bagi kita untuk bisa berbagi dengan sesama muslim dan berlapang dada atas perbedaan/ khilafiyah dalam masalah agama. Apalagi bila perbedaan itu didasarkan pada dalil-dalil yang memang mengarah kepada perbedaan pendapat. Dan fenomena ini sering terjadi dalam banyak furu` (cabang) dalam agama ini. Tentu sangat tidak layak untuk menafikan pendapat orang lain hanya karena ta`asshub atas pendapat kelompok dan golongan saja.
0 Tanggapan untuk "Selamatan, Tahlilan dan Yasinan"
Post a Comment