Einsten, Ali, Barghouti dan Perjalanan ke Dalam Hati
"Aku ingin mengerti waktu karena aku ingin mendekati tuhan." Kata-kata jujur itu terlontar dari mulut Albert Einsten puluhan tahun yang lalu. Besso, sang sahabat yang selalu menyediakan waktunya untuk mendengar ide-ide Einsten, hanya mampu terperangah kaget mendengar ungkapan hati sahabatnya itu. Ia selalu terpesona pleh ambisi-ambisi Einsten. Dalam usianya yang ke-26 saja, Einsten telah menyelesaikan tesis Ph.D, satu tulisan ilmiah tentang photon dan satu tulisan tentang gerak Brownian.
Proyek baru yang sedang dikerjakan oleh Einsten kini adalah konsepsi tentang relativitas waktu. Besso sama sekali tidak pernah menduga bahwa dibalik apa yang selama ini telah diraih oleh sahabatnya itu, ternyata Einsten masih menyimpan satu pencarian batin, yang ia tahu tidak akan pernah dapat dipecahkan secara empiris oleh sahabatnya itu. Keheningan menyelimuti kedua sahabat itu. Besso tidak tahu bagaimana ia harus menanggapi ungkapan hati sahabatnya. Besso hanya bisa berpaling ke arah bawah jembatan tempat mereka berada. Ia memandangi perahu berwarna keperakan dalam kemilau matahari senja di sungai Aare. Namun, raut wajah kerinduan untuk mendekati tuhan di wajah Einsten membuyarkan pemandangan indah senja itu. Besso merasa ganjil. Bagaimana mungkin orang yang selama ini terbiasa menyendiri dan sangat tertutup seperti Einsten memiliki kerinduan untuk mendekati Tuhan?
Setting cerita berpindah dari pemandangan dua orang sahabat pada suatu senja di jembatan sungai Aare, Jerman, ke suatu siang di tanah pertanian seluas 35 hektar di Berrien Springs, Michigan, puluhan tahun kemudian. Hari itu tanggal 11 September 2001. Muhammad Ali, sang petinju legendaris dan pemilik tanah pertanian tersebut sedang duduk di halaman rumahnya menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan seorang wartawan dari majalah Reader's Digest, salah satu majalah beroplah tertinggi di dunia. Kejadian yang menyentak rakyat Amerika tadi pagi, runtuhnya WTC dan dituduhnya teroris muslim yang terlibat dalam aksi tersebut, membuat Muhammad Ali menerima begitu banyak tawaran wawancara. Pendapatnya sebagai seorang muslim tiba-tiba menjadi begitu penting dalam menanggapi kejadian tersebut.
RD : "Orang-orang muslim dituduh bertanggung jawab dalam penyerangan ke WTC pagi ini, bagaimana pendapat anda?"
Ali : "Saya marah karena orang-orang menuduh Islam yang menyebabkan kehancuran yang disebabkan oleh fanatik rasis ini. Pelakunya bukan orang-orang muslim, karena Islam adalah negara yang mencintai kedamaian. Islam sama sekali tidak mengajarkan terorisme ataupun membunuh orang."
RD : "Bagaimana anda menjalani hidup sebagai seorang muslim di Amerika? Apa artinya keyakinan tersebut bagi anda?"
Ali : "Menjalani kehidupan sebagai seorang muslim di Amerika tidaklah mudah. Pertama kali saya mengumumkan keislaman saya, orang-orang berfikir itu adalah sesuatu yang lucu. Saya mengerti mereka berpendapat demikian karena perubahan drastis yang saya lakukan terhadap hidup saya. Namun, Islam bagi saya adalah sebuah tiket ke surga. Kita semua akan mati dan akan ada hari pembalasan. Adanya hari pembalasan tersebut dan keyakinan bahwa Tuhan selalu mengawasi apapun yang saya lakukan membuat saya lebih berhati-hati dalam melangkah dan memperlakukan orang lain. Saya selalu membawa sebungkus korek api kemanapun saya pergi. Setiap kali saya terdorong untuk melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya menurut keyakinan agama saya, saya menyalakan korek api tersebut dan merasakan panasnya api korek tersebut di jari-jari saya sampai saya kesakitan. Setelah itu, saya meyakinkan diri saya bahwa api neraka lebih panas daripada apa yang baru saya rasakan dan sifatnya abadi. Sayapun urung melakukan perbuatan dosa yang akan saya lakukan."
Setting cerita berpindah lagi ke Timur Tengah, tepatnya di kota Ramallah, Palestina, pada tanggal 15 April 2002. Kota Ramallah dikejutkan oleh berita tertangkapanya sang tokoh Intifadah, Marwan Barghouti, oleh Israel. Bukan hanya kota Ramallah, seluruh Palestina dikejutkan oleh berita ini. Bahkan di Lebanon, kelompok Hizbullah bereaksi keras dengan memperingatkan Israel agar memperlakukan Barghouti secara manusiawi.
Bahkan, faksi yang berhasil mengusir Israel dari Lebanon Selatan pada Mei 2000 lalu itu, mengancam jika Barghouti disakiti, mereka akan membidik balik Sharon.
Marwan Barghouti, ayah tiga orang putra dan satu orang putri ini adalah seorang tokoh utama gerakan intifadah. Barghouti adalah pengganti Khalid Al-Wazir, alias Abu Jihad, seorang pendiri gerakan intifadah yang tewas diberondong peluru tentara Israel pada April 1988. Barghouti, seorang doktor di bidang politik kelahiran 1959 dan juga pengajar di Universitas Al-Quds ini, telah berjuang untuk bangsanya sejak ia masih muda. Bahkan Israel pernah menjebloskannya ke penjara sebelumnya selama enam tahun. Sejak 1978, berbagai upaya penangkapan dan pembunuhan telah dilancarkan Israel terhadap Barghouti, sampai akhirnya mujahid ini tertangkap 15 April lalu. Sampai sekarang tidak jelas apakah Barghouti masih hidup atau tidak, tetapi satu yang jelas bahwa gerakan intifadah di tanah Palestina tidak surut oleh tertangkapnya Barghouti.
Coba cermati. Tiga cerita diatas, walaupun memiliki setting, waktu, pelaku, bahkan alur yang berbeda, tetapi memiliki sebuah persamaan yang signifikan. Para pelaku dari ketiga cerita di atas memiliki suatu motor penggerak di dalam hati mereka masing-masing yang mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan hati nurani mereka. Masing-masing dari mereka, Einsten, Ali dan Barghouti, menciptakan suatu karya fenomenal, melakukan suatu perubahan yang mengejutkan dan berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya karena suatu alasan yang mereka anggap layak dan tepat. Mereka memiliki alasan yang kuat untuk melakukan itu semua.
Albert Einsten, mampu melahirkan suatu karya fenomenal yang membuatnya tetap dikenang hingga kini, yaitu Teori Relativitas, karena dorongan hatinya untuk lebih mengenal dan mendekat pada tuhan. Alasan ini cukup menyentuh, mengingat Einsten adalah seorang yahudi. Akan tetapi, tidak banyak yang tahu alasan utama dibalik keberhasilan Einsten dan Teori Relativitasnya tersebut. Ataukah hal ini memang sengaja ditutup-tutupi dan disembunyikan? Hanya Allah Yang Maha Tahu. Dan hanya Allah jugalah yang mampu mengetahui apakah ia telah berhasil menemukan pencarian batinnya tersebut sebelum ia meninggal. Bukankah hanya Allah lah yang memiliki kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia? Ia akan memberikan hidayahNya hanya kepada orang-orang yang Ia anggap layak untuk menerima hidayah tersebut.
Muhammad Ali, yang bermetamorfosa dari seorang Cassius Clay yang identik dengan dunia glamour dan penuh kesenangan yang bersifat duniawi menjadi seorang muslim yang survive di negara dimana hedonisme berkiblat, yaitu Amerika dan kemudian melakukan perubahan yang luar biasa terhadap kehidupannya karena suatu alasan yang kuat. Ia berubah karena ia yakin telah menemukan kebenaran yang hakiki, yaitu islam, yang membawanya menemukan kedamaian. Ia dan korek api yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi telah cukup menggambarkan kepada kita keyakinannya terhadap keberadaan Allah dan terhadap adanya hari pembalasan.
Barghouti dan gerakan intifadahnya juga telah membuktikan bahwa rasa cinta terhadap Sang Khalik mampu mendorong seseorang untuk melakukan apa saja. Rasa cintanya tersebut ia anggap cukup layak untuk ia jadikan alasan melakukan suatu pengorbanan bahkan pengorbanan terbesar seperti mengorbankan nyawanya sekalipun. Kisah hidup tokoh intifadah ini menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan cinta, sehingga rasa cinta tersebut mampu menjadi suatu motor penggerak dalam kehidupan manusia.
Mudah-mudahan kita semua tidak terlalu arogan untuk mau sejenak bercermin terhadap ketiga kisah diatas dan mencoba untuk menata kembali rencana-rencana yang telah kita buat untuk memanfaatkan sisa hidup kita. Jangan pernah merasa enggan untuk bercermin dan mencoba berkata jujur kepada diri kita masing-masing, bahkan terhadap seorang yahudi seperti Einsten sekalipun. Bukankah filosofi Ibnu Sina mengajarkan kepada kita agar menggunakan pendekatan banyak arah untuk mencapai kebenaran? Lalu mengapa kita masih saja suka mempertahankan filosofi "kacamata kuda" Rene Descartes yang berpandangan satu arah?
Lakukanlah perjalanan ke dalam hati kita masing-masing dan coba tengok sejenak apakah yang selama ini telah memotivasi kita untuk melakukan segala aktivitas kita adalah murni karena Allah? Ataukah kita memberikan kavling yang lebih luas terhadap popularitas, gengsi, materi dan segala sesuatu selain Allah lainnya untuk menempati hati kita dan menjadi motor penggerak kehidupan kita? Hanya kitalah yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Cobalah untuk mendengarkan kata hati kita dan meluruskan kembali niat kita.
Bukankah selama hidupnya Rasulullah juga lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah hampir tidak pernah berceramah. Khutbahnyapun tidak pernah lama. Lalu mengapa kita tidak coba meniru Rasulullah dengan mulai menjadi pendengar yang baik terhadap sesuatu yang sangat dekat dengan kita, yaitu hati nurani kita. Wallahu'alam bishawaab.
Proyek baru yang sedang dikerjakan oleh Einsten kini adalah konsepsi tentang relativitas waktu. Besso sama sekali tidak pernah menduga bahwa dibalik apa yang selama ini telah diraih oleh sahabatnya itu, ternyata Einsten masih menyimpan satu pencarian batin, yang ia tahu tidak akan pernah dapat dipecahkan secara empiris oleh sahabatnya itu. Keheningan menyelimuti kedua sahabat itu. Besso tidak tahu bagaimana ia harus menanggapi ungkapan hati sahabatnya. Besso hanya bisa berpaling ke arah bawah jembatan tempat mereka berada. Ia memandangi perahu berwarna keperakan dalam kemilau matahari senja di sungai Aare. Namun, raut wajah kerinduan untuk mendekati tuhan di wajah Einsten membuyarkan pemandangan indah senja itu. Besso merasa ganjil. Bagaimana mungkin orang yang selama ini terbiasa menyendiri dan sangat tertutup seperti Einsten memiliki kerinduan untuk mendekati Tuhan?
Setting cerita berpindah dari pemandangan dua orang sahabat pada suatu senja di jembatan sungai Aare, Jerman, ke suatu siang di tanah pertanian seluas 35 hektar di Berrien Springs, Michigan, puluhan tahun kemudian. Hari itu tanggal 11 September 2001. Muhammad Ali, sang petinju legendaris dan pemilik tanah pertanian tersebut sedang duduk di halaman rumahnya menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan seorang wartawan dari majalah Reader's Digest, salah satu majalah beroplah tertinggi di dunia. Kejadian yang menyentak rakyat Amerika tadi pagi, runtuhnya WTC dan dituduhnya teroris muslim yang terlibat dalam aksi tersebut, membuat Muhammad Ali menerima begitu banyak tawaran wawancara. Pendapatnya sebagai seorang muslim tiba-tiba menjadi begitu penting dalam menanggapi kejadian tersebut.
RD : "Orang-orang muslim dituduh bertanggung jawab dalam penyerangan ke WTC pagi ini, bagaimana pendapat anda?"
Ali : "Saya marah karena orang-orang menuduh Islam yang menyebabkan kehancuran yang disebabkan oleh fanatik rasis ini. Pelakunya bukan orang-orang muslim, karena Islam adalah negara yang mencintai kedamaian. Islam sama sekali tidak mengajarkan terorisme ataupun membunuh orang."
RD : "Bagaimana anda menjalani hidup sebagai seorang muslim di Amerika? Apa artinya keyakinan tersebut bagi anda?"
Ali : "Menjalani kehidupan sebagai seorang muslim di Amerika tidaklah mudah. Pertama kali saya mengumumkan keislaman saya, orang-orang berfikir itu adalah sesuatu yang lucu. Saya mengerti mereka berpendapat demikian karena perubahan drastis yang saya lakukan terhadap hidup saya. Namun, Islam bagi saya adalah sebuah tiket ke surga. Kita semua akan mati dan akan ada hari pembalasan. Adanya hari pembalasan tersebut dan keyakinan bahwa Tuhan selalu mengawasi apapun yang saya lakukan membuat saya lebih berhati-hati dalam melangkah dan memperlakukan orang lain. Saya selalu membawa sebungkus korek api kemanapun saya pergi. Setiap kali saya terdorong untuk melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya menurut keyakinan agama saya, saya menyalakan korek api tersebut dan merasakan panasnya api korek tersebut di jari-jari saya sampai saya kesakitan. Setelah itu, saya meyakinkan diri saya bahwa api neraka lebih panas daripada apa yang baru saya rasakan dan sifatnya abadi. Sayapun urung melakukan perbuatan dosa yang akan saya lakukan."
Setting cerita berpindah lagi ke Timur Tengah, tepatnya di kota Ramallah, Palestina, pada tanggal 15 April 2002. Kota Ramallah dikejutkan oleh berita tertangkapanya sang tokoh Intifadah, Marwan Barghouti, oleh Israel. Bukan hanya kota Ramallah, seluruh Palestina dikejutkan oleh berita ini. Bahkan di Lebanon, kelompok Hizbullah bereaksi keras dengan memperingatkan Israel agar memperlakukan Barghouti secara manusiawi.
Bahkan, faksi yang berhasil mengusir Israel dari Lebanon Selatan pada Mei 2000 lalu itu, mengancam jika Barghouti disakiti, mereka akan membidik balik Sharon.
Marwan Barghouti, ayah tiga orang putra dan satu orang putri ini adalah seorang tokoh utama gerakan intifadah. Barghouti adalah pengganti Khalid Al-Wazir, alias Abu Jihad, seorang pendiri gerakan intifadah yang tewas diberondong peluru tentara Israel pada April 1988. Barghouti, seorang doktor di bidang politik kelahiran 1959 dan juga pengajar di Universitas Al-Quds ini, telah berjuang untuk bangsanya sejak ia masih muda. Bahkan Israel pernah menjebloskannya ke penjara sebelumnya selama enam tahun. Sejak 1978, berbagai upaya penangkapan dan pembunuhan telah dilancarkan Israel terhadap Barghouti, sampai akhirnya mujahid ini tertangkap 15 April lalu. Sampai sekarang tidak jelas apakah Barghouti masih hidup atau tidak, tetapi satu yang jelas bahwa gerakan intifadah di tanah Palestina tidak surut oleh tertangkapnya Barghouti.
Coba cermati. Tiga cerita diatas, walaupun memiliki setting, waktu, pelaku, bahkan alur yang berbeda, tetapi memiliki sebuah persamaan yang signifikan. Para pelaku dari ketiga cerita di atas memiliki suatu motor penggerak di dalam hati mereka masing-masing yang mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan hati nurani mereka. Masing-masing dari mereka, Einsten, Ali dan Barghouti, menciptakan suatu karya fenomenal, melakukan suatu perubahan yang mengejutkan dan berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya karena suatu alasan yang mereka anggap layak dan tepat. Mereka memiliki alasan yang kuat untuk melakukan itu semua.
Albert Einsten, mampu melahirkan suatu karya fenomenal yang membuatnya tetap dikenang hingga kini, yaitu Teori Relativitas, karena dorongan hatinya untuk lebih mengenal dan mendekat pada tuhan. Alasan ini cukup menyentuh, mengingat Einsten adalah seorang yahudi. Akan tetapi, tidak banyak yang tahu alasan utama dibalik keberhasilan Einsten dan Teori Relativitasnya tersebut. Ataukah hal ini memang sengaja ditutup-tutupi dan disembunyikan? Hanya Allah Yang Maha Tahu. Dan hanya Allah jugalah yang mampu mengetahui apakah ia telah berhasil menemukan pencarian batinnya tersebut sebelum ia meninggal. Bukankah hanya Allah lah yang memiliki kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia? Ia akan memberikan hidayahNya hanya kepada orang-orang yang Ia anggap layak untuk menerima hidayah tersebut.
Muhammad Ali, yang bermetamorfosa dari seorang Cassius Clay yang identik dengan dunia glamour dan penuh kesenangan yang bersifat duniawi menjadi seorang muslim yang survive di negara dimana hedonisme berkiblat, yaitu Amerika dan kemudian melakukan perubahan yang luar biasa terhadap kehidupannya karena suatu alasan yang kuat. Ia berubah karena ia yakin telah menemukan kebenaran yang hakiki, yaitu islam, yang membawanya menemukan kedamaian. Ia dan korek api yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi telah cukup menggambarkan kepada kita keyakinannya terhadap keberadaan Allah dan terhadap adanya hari pembalasan.
Barghouti dan gerakan intifadahnya juga telah membuktikan bahwa rasa cinta terhadap Sang Khalik mampu mendorong seseorang untuk melakukan apa saja. Rasa cintanya tersebut ia anggap cukup layak untuk ia jadikan alasan melakukan suatu pengorbanan bahkan pengorbanan terbesar seperti mengorbankan nyawanya sekalipun. Kisah hidup tokoh intifadah ini menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan cinta, sehingga rasa cinta tersebut mampu menjadi suatu motor penggerak dalam kehidupan manusia.
Mudah-mudahan kita semua tidak terlalu arogan untuk mau sejenak bercermin terhadap ketiga kisah diatas dan mencoba untuk menata kembali rencana-rencana yang telah kita buat untuk memanfaatkan sisa hidup kita. Jangan pernah merasa enggan untuk bercermin dan mencoba berkata jujur kepada diri kita masing-masing, bahkan terhadap seorang yahudi seperti Einsten sekalipun. Bukankah filosofi Ibnu Sina mengajarkan kepada kita agar menggunakan pendekatan banyak arah untuk mencapai kebenaran? Lalu mengapa kita masih saja suka mempertahankan filosofi "kacamata kuda" Rene Descartes yang berpandangan satu arah?
Lakukanlah perjalanan ke dalam hati kita masing-masing dan coba tengok sejenak apakah yang selama ini telah memotivasi kita untuk melakukan segala aktivitas kita adalah murni karena Allah? Ataukah kita memberikan kavling yang lebih luas terhadap popularitas, gengsi, materi dan segala sesuatu selain Allah lainnya untuk menempati hati kita dan menjadi motor penggerak kehidupan kita? Hanya kitalah yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Cobalah untuk mendengarkan kata hati kita dan meluruskan kembali niat kita.
Bukankah selama hidupnya Rasulullah juga lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah hampir tidak pernah berceramah. Khutbahnyapun tidak pernah lama. Lalu mengapa kita tidak coba meniru Rasulullah dengan mulai menjadi pendengar yang baik terhadap sesuatu yang sangat dekat dengan kita, yaitu hati nurani kita. Wallahu'alam bishawaab.
0 Tanggapan untuk "Einsten, Ali, Barghouti dan Perjalanan ke Dalam Hati"
Post a Comment