Kajian Fiqih Romadhon: Sholat Idul Fitri
I. HUKUM SHALAT 'IED
Sholat sunnah Ied menurut jumhur ulama hukumnya adalah sunnah mu’akkadah. Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW selalu melaksanakan sholat sunah tersebut dan tidak pernah meninggalkannya. Bahkan dalam salah satu hadis Rasulullah SAW memerintahkan agar semua wanita baik itu yang haidh, yang dipingit, dan budak belian agar berangkat ke tempat pelaksanaan sholat Ied. Semua itu menujukkan bahwa hukum shoat Ied adalah sunnah mu’akkadah.
وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : { أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْعَوَاتِقَ ، وَالْحُيَّضَ فِي الْعِيدَيْنِ : يَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى } . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ummu ‘Athiyyah Ra ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan pada hari Iedul Fithri dan Iedul Adhaa: Wanita-wanita yang dipingit, Wanita-wanita dan Hamba sahaya. Adapaun wanita-wanita yang sedang haidh hendaklah mereka menjaughi tempat sholat dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, salah seorang diantara kami tidak memiliki jilbab” Beliau menjawab: “Hendaklah saudaranya memberikan pakaian kepadanya” (HR. Bukhori 324 dan Muslim 890)
وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ } . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Abbas Ra ia berkata: “Aku pernah menyaksikan sholat Ied bersama Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman Ra. Dan mereka semuanya melaksanakan sholat sebelum khutbah” (HR. Bukhari No. 989 dan Muslim 884)
Dari Abu Umair bin Anas bin Malik ia berkata: “Paman-pamanku dari kalangan Anshor yang termasuk sahabat Rasulullah SAW pernah menceritakan padaku: Mereka berkata : “Hilal bulan Syawal pernah tertutupi sehingga kami tidak bisa melihatnya, kemudian besoknya kami melaksanakan shaum, kemudian menjelang sore datang sekelompok kafilah dan bersaksi di hadapan Nabi SAW bahwa mereka melihat hilal kemarin. Maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi untuk melaksankan sholat Ied esok harinya” (HR. Abu Daud/ Shohih Sunan Abi Daud No. 1026 dan Ibnu Majah/Shohih Sunan Ibnu Majah No. 634)
II. WAKTU PELAKSANAAN SHOLAT
Sholat Iedul fitri dilaksanakan pada saat matahari telah meninggi seukuran dua tumbak sedangkan pelaksanaan sholat iedul Adha dilakukan lebih awal, yaitu seukuran satu tombak.
Dari Abdullah bin Bisr Ra, bahwasanya ia pernah keluar bersama orang-orang untuk melaksanakan sholat iedul fithri dan iedul Adhaa, kemudian ia mengecam imam yang selalu terlambat dan berkata: “Sesunguhnya ketika kami bersama Nabi SAW maka pada saat ini kami telah selesai” dan hal tersebut terjadi ketika sholat sunat dhuha. (HR Abu Daud lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1005)
III. SHIFAT SHOLAT
a. Jumlah Rakaat
Jumlah rakaat shalat ied 2 rakaat sebagaimana hadits berikut :
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْعِيدِ رَكْعَتَيْنِ ، لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلا بَعْدَهُمَا } . أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ
Dari Dari Ibni Abbas ra bahwa Nabi SAW melakukan shalat 'Ied 2 rakaat, beliau tidak melakukan shalat sebelumnya atau sesudahnya” (HR. As-Sab'ah)
b. Takbir 7 kali dan 5 kali
Dalam pelaksanaan sholat Ied disunahkan untuk melaksanakan takbir 7 kali di rakaat pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua.
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Takbir ketika sholat Ied 7 kali di rakaat yang pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi. Lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1020 dan Shohih Sunan Ibnu Majah 1056)
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ : قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { التَّكْبِيرُ فِي الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي الْأُولَى وَخَمْسٌ فِي الْأُخْرَى وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا } أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد ، وَنَقَلَ التِّرْمِذِيُّ عَنْ الْبُخَارِيِّ تَصْحِيحَهُ
Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dan dari kakeknya radhiyallahu 'anhum berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Takbir di sholat Iedul Fithri tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat yang kedua. Dan membaca ayat Al-Quran sesudah takbir pada keduanya” (HR Abu Daud, lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1018)
Menurut Imam Malik ra dan Auza’i tidak disunnahkan untuk membaca zikir apapun di antara takbir-takbir tersebut karena tidak ada keterangan dari Rasulullah SAW yang menyatakannya. Namun Imam Abu Hanifah ra dan Imam As-Syafi’i ra menyunnahkan untuk membaca zikir di antara takbir itu dengan lafaz yang tidak ditentukan.
c. Tidak Disyariatkannya Sholat sunnah, baik sebelum atau sesudahnya.
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْعِيدِ رَكْعَتَيْنِ ، لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلا بَعْدَهُمَا } . أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ
Dari Ibnu Abbas Ra, berkata : “Sesungguhnya Nabi SAW keluar untuk melaksanakan sholat Ied, kemudian beliau melaksankan sholat dua rakaat (sholat Ied), beliau tidak melaksanakan sholat apapun baik sebelum atau sesudahnya dan Bilal Ra ada bersama beliau” (HR. Bukhari 989 dan Muslim 884)
d. Tidak Disyariatkan Adzan dan Iqomah Ketika Sholat Ied.
Dalam pelaksanaan sholat Ied, tidak disyariatkan dikumandangkannya adzan, iqomah maupun bentuk panggilan-panggilan yang lainnya.
وَعَنْهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعِيدَ بِلَا أَذَانٍ ، وَلَا إقَامَةٍ } . أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد ، وَأَصْلُهُ فِي الْبُخَارِيِّ
Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Nabi SAW melaksanakan sholat Ied tanpa ada adzan maupun iqomah” (HR. Abu Daud dan berasal dari Bukhari)
Dari Jabir bin Samuroh Ra ia berkata: “Aku pernah melaksanakan sholat Ied bersama Rasulullah SAW bukan sekali atau dua kali, tanpa ada adzan maupun iqomah” (HR Muslim 887)
e. Dilanjutkan dengan 2 khutbah
Khutbah Idul Fithri dan Idul Adha sebenarnya tidak berbeda dengan khutbah jumat. Kecuali memang ada beberapa hal yang berbeda hukumnya. Ada beberapa urusan yang diwajibkan dalam khutbah Jumat namun tidak diwajibkan dalam khutbah Ied.
وَعَنْهُ قَالَ : { كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إلَى الْمُصَلَّى وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ - وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ - فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ } . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Bahwa Nabi SAW keluar pada hari 'Iedul Fithr dan 'Iedul Adha ke mushalla, beliau memulai pertama kali dengan shalat, kemudian beranjak dan berdiri menghadap orang-orang, sementara orang-orang masih dalam shaf masing-masing, beliau menasehati mereka dan memerintahkan mereka.
Para ulama Asy-Syafi`iyah menyebutkan bahwa dalam masalah keharusan duduk antara dua khutbah, bila pada khutbah Jumat diharuskan ada duduk antara dua khutbah, maka pada khutbah Ied tidak diwajibkan untuk duduk diantara dua khutbah, hanya disunnahkan.
Begitu juga bila dalam khutbah Jumat, disyaratkan kondisi imam yang suci dari hadats kecil (dalam keadaan berwudhu’), dalam khutbah Ied tidak disyaratkan. Begitu juga dengan berdiri, bila pada khutbah diwajibkan untuk berdiri saat menyampaikan khutbah, maka pada khutbah Ied tidak diwajibkan, hanya disunnahkan.
(Silahkan periksa pada kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Zuhaili hal 1405).
Dengan demikian, bila dalam kesempatan khutbah Idul Fitri maupun Idul Adh-ha, Anda mendapati ada khatib yang khutbah hanya sekali, hukumnya boleh karena hanya sunnah saja. Namun tentu saja lebih baik bila khutbah itu dilakukan secara lengkap dengan sunnahnya.
IV. TEMPAT SHALAT `IED
Para fuqoha telah sepakat bahwa semua tempat yang bersih dan bisa menampung jama’ah yang banyak jumlahnya bisa dipergunakan sebagai tempat untuk melaksankan sholat Ied. Baik itu di Masjid atau di tanah lapang. Namun demikian, mereka menyatakan pelaksanaan sholat tersebut di tanah lapang adalah lebih utama.
Dari Ummu ‘Athiyyah RA ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan supaya kami mengeluarkan di hari Iedul Fitri dan Iedul Adha, para gadis yang belum menikah, wanita-wanita haidh dan wanita-wanita dalam pingitan. Adapun wanita yang sedang haidh diperintahkan untuk menjauhi tempat sholat, supaya mereka dapat menyaksikan kebaikan dan da’wah kaum muslimin”. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Beliau menjawab: “Hendaklah saudaranya yang perempuan memakaikan jilbab untuknya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya saja fuqoha madzhab Syafi’i menyatakan bahwa keutamaan sholat 'Ied di tanah lapang berlaku jika memang masjid yang biasa digunakan untuk melakukan shalat terlalu sempit. Tetapi jika masjid tersebut adalah luas, maka melaksanakan shalat di masjid adalah lebih utama sebagaimana yang biasa dilakukan di Masjidil Haram. Karena masjid adalah lebih bersih dan lebih mulia. (Al-Mausu’ah Al-Fiqghiyyah 27/245)
Sedangkan kebiasan membaca tahlilan seusai melaksanakan sholat 'Ied, belum kami dapatkan dalil yang sharih dan tegas yang menyatakan pensyariatan hal tersebut. Oleh karena itu kami sarankan anda untuk tidak melakukannya sampai ada keterangan yang shohih dari Rasulullah SAW, bahwa beliau pernah melakukan atau memerintahkan hal tersebut.
Sedangkan yang disyariatkan setelah pelaksanaan sholat Iedain tersebut adalah mengucapakan tahni'ah Ied sebagaimana diriwayatakan dari Jubair bin Nufair Ra, ia berkata:“Para sahabat Nabi SAW apabila bertemu di hari raya (Ied) sebagian dari mereka berkata kepada yang lain: “Taqobbalallohu Minnaa Wa Minkum (Semoga Alloh menerima ibadah kita semua)” (HR Al-Muhamili)
***
V. TERTINGGAL / MASBUK PADA SHALAT IED
Salah satu yang membedakan shalat ‘Ied dengan shalat lainnya adalah adanya beberapa kali takbir di awal rakaat. Baik rakaat pertama atau pun rakaat kedua. Di dalam hadits Rasulullah SAW, memang ada disebutkan masalah ini :
Dari Katsir dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa Rasulullah SAW dalam shalat Iedain dalam rakaat pertama melakukan takbir 7 kali sebelum qiraah dan dalam rakaat kedua bertakbir 5 kali sebelum qiraah.(HR. Turmuzi, Abu Daud, Ibnu Majah)
Juga ada keterangan yang menyebutkan bahwa disunnahkan untuk mengangkat tangan pada saat takbir-tabkir itu dilakukan. Dalilnya adalah :
Dari Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW mengangkat tangan pada setiap takbir dalam shalat ‘Ied.(HR. Baihaqi dalam hadits mursal dan munqathi’)
Sedangkan pada setiap jeda antara satu takbir dengan takbir lainnya, disunnahkan untuk membaca tasbih, tahmid dan tahlil seperti lafaz ‘Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaha illallah). Lafaz ini juga dikenal dengan istilah ‘al-baqiyatush shalihat’. Sebuah istilah yang ada dalam ayat Al-Quran Al-Karim :
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi ‘al-baqiyatush shalihat’(amalan-amalan yang kekal lagi saleh) adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.(QS. Al-Kahfi : 46)
Kasus Makmum Ketinggalan Takbir
Dalam mazhab Al-Malikiyah disebutkan bahwa bila seorang makmum ketinggalan dalam mengikuti imam dalam takbir shalat ‘Ied, maka selama imam masih bertakbir, hendaknya dia diam saja dan baru bertakbir saat imam sudah selesai membaca takbir atau sudah mulai membaca Al-fatihah.
Tetapi bila seorang makmum bergabung dengan shalat sebagai masbuk, dimana imam sudah selesai bertakbir dan sudah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran Al-Karim, maka dia boleh bertakbir sendiri setelah takbiratul ihram lalu mengikuti imam. Hal seperti juga dikerjakan bila dia tertinggal satu rakaat dan baru ikut shalat dengan imam pada rakaat kedua.
Khusus bagi makmum yang tertinggal dua rakaat, yaitu yang tidak sempat ikut rukuk bersama imam pada rakaat kedua, maka makmum itu harus mengqadha’ sendirian shalatnya itu dengan melakukan shalat dua rakaat setelah imam selesai salam. Juga dengan bertakbir 6 kali di rakaat pertama dan 5 di rakaat kedua. (Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa takbir pada rakaat pertama itu 6 kali selain takbirtaul ihram).
Dalam mazhab Asy-Syafi`iyah disebutkan bahwa orang yang masbuk di dalam shalat ‘Ied atau tertinggal sebagian shalat hendaknya bertakbir pada saaat setelah selesai mengqadha’ apa yang dia tertinggal.
Dalam mazhab Al-Hanabilah disebutkan bahwa makmum yang mendapati imam sudah selesai bertakbir atau sudah dalam bertakbir, maka dia tidak perlu bertakbir. Hal yang sama juga bila dia mendapati imam sudah rukuk. Hal itu karena tempat untuk takbir sudah terlewat. Dan makmum yang masbuk bertakbir bila makmum itu sudah menyelesaikan qadha’ atas apa yang tertinggal.
Semua itu merupakan kesimpulan dari para ahli ilmu dengan dalil hadits :
Apa yang bisa kamu dapati bersama imam maka shalatlah, sedangkan apa yang terlewat/tertinggal, maka qadha’lah(HR. )
VI. Beberapa Amalan Sunnah Yang Dianjurkan Pada Hari Raya
a. Mandi
Dari Ali r.a. bahwa ia pernah ditanya perihal mandi, maka dia menjawab, "Yaitu pada hari Jum'at, hari ‘Arafah, hari raya, dan hari raya Idul Adha."(HR. Baihaqi).
b.Menggunakan pakaian terbaik
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah menggunakan kain ganggang Yaman pada hari raya," (Sanadnya jayyid Ash-shabihah no: 1279 dan Al-haitsami dalam Majma'uz Zawa-id II: 201 berkata "Diriwayatkan Thabrani dalam kitab al-Ausath dengan perawi-perawi yang tsiqah.")
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah menggunakan kain ganggang Yaman pada hari raya," (Sanadnya jayyid Ash-shabihah no: 1279 dan Al-haitsami dalam Majma'uz Zawa-id II: 201 berkata "Diriwayatkan Thabrani dalam kitab al-Ausath dengan perawi-perawi yang tsiqah.")
c. Makan sebelum berangkat pada hari raya puasa
Dari Anas r.a. berkata, "Adalah Rasulullah tidak berangkat (ke tanah lapang) pada idul fitri sehingga makan beberapa buah kurma." (Shahil Shahih Tirmidzi no: 448, Fathul Bari II: 446 no: 953 dan Tirmidzi II: 27 no: 541)
Dari Anas r.a. berkata, "Adalah Rasulullah tidak berangkat (ke tanah lapang) pada idul fitri sehingga makan beberapa buah kurma." (Shahil Shahih Tirmidzi no: 448, Fathul Bari II: 446 no: 953 dan Tirmidzi II: 27 no: 541)
Dari Abu Buraidah bahwa Rasulullah tidak berangkat (ke tanah lapang) pada hari idul fitri sebelum sarapan, dan tidak sarapan pada hari raya qurban hingga beliau menyembelih binatang qurbannya). (Shahih Shahih Tirmidzi 447, Ibnu Khuzaimah II: 341 no: 1426, Tirmidzi II:2 no: 540 dengan lafadz,"HATTAA YUSHALLIYA (=hingga beliau shalat).
d. Melewati jalan lain
Dari Jabir r.a. berkata, "Adalah Nabi saw. apabila hari raya, melewati jalan yang berbeda (antara pulang dan pergi)." (Shahih: Al Misykah no: 1434 dan Fathul Bari II: 472 no: 968).
Dari Jabir r.a. berkata, "Adalah Nabi saw. apabila hari raya, melewati jalan yang berbeda (antara pulang dan pergi)." (Shahih: Al Misykah no: 1434 dan Fathul Bari II: 472 no: 968).
Takbir pada dua hari raya Takbir pada hari idul fitri sebagaimana firman Allah, "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu rnengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. al-Baqarah: 185)
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz,atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 311-319.
0 Tanggapan untuk "Kajian Fiqih Romadhon: Sholat Idul Fitri"
Post a Comment