Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan
(jam'iyah diniyah islamiah) yang berhaluan Ahli Sunnah wal-Jamaah
(Aswaja). Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1334
H) oleh K.H. Hasyim Asy'ari beserta para tokoh ulama tradisional dan usahawan di
Jawa Timur.
Sejak awal K.H. Hasyim Asy'ari duduk sebagai pimpinan dan tokoh
agama terkemuka di dalam NU. Tetapi, tidak diragukan bahwa penggerak di balik
berdirinya organisasi NU adalah Kiai Wahab Chasbullah, putra Kiai Chasbullah
dari Tambakberas, Jombang. Pada tahun 1924 Kiai Wahab Chasbullah mendesak
gurunya, K.H. Hasyim Asy'ari, agar mendirikan sebuah organisasi yang mewakili
kepentingan-kepentingan dunia pesantren. Namun, ketika itu pendiri pondok
pesantren Tebu Ireng ini, K.H. Hasyim Asy'ari, tidak menyetujuinya. Beliau
menilai bahwa untuk mendirikan organisasi semacam itu belum diperlukan. Baru
setelah adanya peristiwa penyerbuan Ibn Sa'ud atas Mekah, beliau berubah pikiran
dan menyetujui perlunya dibentuk sebuah organisasi baru. Semangat untuk merdeka
dari penjajahan Belanda pada waktu itu, dan sebagai reaksi defensif maraknya
gerakan kaum modernis (Muhammadiyah, dan kelompok modernis moderat yang aktif
dalam kegiatan politik, Sarekat Islam) di kalangan umat Islam yang mengancam
kelangsungan tradisi ritual keagamaan khas umat islam tradisional adalah yang
melatarbelakangi berdirinya NU. Rapat pembentukan NU diadakan di kediaman Kiai
Wahab dan dipimpin oleh Kiai Hasyim. September 1926 diadakanlah muktamar NU yang
untuk pertama kalinya yang diikuti oleh beberapa tokoh. Muktamar kedua 1927
dihadiri oleh 36 cabang.
Kaum muslim reformis dan modernis berlawanan dengan praktik keagamaan kaum tradisional yang kental dengan budaya lokal. Kaum puritan yang lebih ketat di antara mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk memberantas praktik ibadah yang dicampur dengan kebudayaan lokal, atau yang lebih dikenal dengan praktik ibadah yang bid'ah. Kaum reformis mempertanyakan relevansinya bertaklid kepada kitab-kitab fiqh klasik salah satu mazhab. Kaum reformis menolak taklid dan menganjurkan kembali kepada sumber yang aslinya, yaitu Alquran dan hadis, yaitu dengan ijtihad para ulama yang memenuhi syarat, dan sesuai dengan perkembangan zaman. Kaum reformis juga menolak konsep-konsep akidah dan tasawuf tradisional, yang dalam formatnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani, pemikiran agama, dan kepercayaan lainnya.
Bagi banyak kalangan ulama tradisional, kritikan dan serangan
dari kaum reformis itu tampaknya dipandang sebagai serangan terhadap inti ajaran
Islam. Pembelaan kalangan ulama tradisional terhadap tradisi-tradisi menjadi
semakin ketat sebagai sebuah ciri kepribadian. Mazhab Imam Syafii merupakan inti
dari tradisionalisme ini (meskipun mereka tetap mengakui mazhab yang lainnya).
Ulama tradisional memilih salah satu mazhab dan mewajibkan kepada pengikutnya,
karena (dinilainya) di zaman sekarang ini tidak ada orang yang mampu
menerjemahkan dan menafsirkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Alquran dan
sunah secara menyeluruh.
Di sisi lain, berdirinya NU dapat dikatakan sebagai ujung
perjalanan dari perkembangan gagasan-gagasan yang muncul di kalangan ulama di
perempat abad ke-20. Berdirinya NU diawali dengan lahirnya Nahdlatul Tujjar
(1918) yang muncul sebagai lambing gerakan ekonomi pedesaan, disusul dengan
munculnya Taswirul Afkar (1922) sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, dan
Nahdlatul Wathon (1924) sebagai gerakan politik dalam bentuk pendidikan. Dengan
demikian, bangunan NU didukung oleh tiga pilar utama yang bertumpu pada
kesadaran keagamaan. Tiga pilar pilar tersebut adalah (a) wawasan ekonomi
kerakyatan; (b) wawasan keilmuan dan sosial budaya; dan (c) wawasan
kebangsaan.
NU menarik massa dengan sangat cepat bertambah banyak.
Kedekatan antara kiai panutan umat dengan masyarakatnya dan tetap memelihara
tradisi di dalam masyarakat inilah yang membuat organisasi ini berkembang sangat
cepat, lebih cepat daripada organisasi-organisasi keagamaan yang ada di
Indonesia. Setiap kiai membawa pengikutnya masing-masing, yang terdiri dari
keluarga-keluarga para santrinya dan penduduk desa yang biasa didatangi untuk
berbagai kegiatan keagamaan. Dan, para santri yang telah kembali pulang ke
desanya, setelah belajar agama di pondok pesantren, juga memiliki andil besar
dalam perkembangan organisasi ini, atau paling tidak memiliki andil di dalam
penyebaran dakwah Islam dengan pemahaman khas NU. Pada tahun 1938 organisasi ini
sudah mencapai 99 cabang di berbagai daerah. Pada tahun 1930-an anggota Nu sudah
mencapai ke wilayah Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Selatan.
Kini organisasi NU menjadi organisasi terbesar di Indonesia, yang tersebar di
seluruh Provinsi, bahkan sekarang telah berdiri cabang-cabang NU di
negara-negara lain.
Hubungan dengan kaum pembaru yang sangat tegang pada
tahun-tahun awal berdirinya NU secara bertahap diperbaiki. Sekitar tahun 1930-an
berkali-kali terlihat tanda-tanda kemauan baik dari kedua belah pihak. Pada
muktamar ke-11 (1936) di Banjarmasin Kiai Hasyim Asy'ari mengajak umat Islam
Indonesia agar menahan diri dari saling melontarkan kritik sektarian, dan
mengingatkan bahwa satu-satunya perbedaan yang sebenarnya hanyalah antara mereka
yang beriman dan yang kafir. Apa yang dikatakan oleh Kiai Hasyim Asy'ari adalah
tepat, dan hal itu setidaknya dapat menumbuhkan rasa persatuan di kalangan umat
Islam. Karena, perbedaan di antara umat Islam itu sudah pasti terjadi. Yang
penting perbedaan itu tidaklah menyangkut hal-hal yang mendasar (ushul).
Meskipun ajakan ini ditujukan bagi kalangan sendiri, tetapi mendapat respon yang
positif dari kalangan pembaru. Sehingga, hubungan antara kedua belah pihak
semakin lama semakin baik.
Akan tetapi, dalam beberapa kasus tetap saja terjadi, bahkan
hingga era reformasi sekarang ini. Ketegangan yang cukup besar terlihat
menjelang jatuhnya pemerintahan Abdul Rahman Wahid (Gus Dur) tahun 2001. Warga
NU yang mendukung Gus Dur bersitegang dengan warga Muhammadiyah yang mendukung
Amin Rais. Kejadian ini sempat membuat beberapa masjid Muhammadiyah diserang
oleh pendukung fanatik Gus Dur di kantong-kantong NU.
Yang lebih unik lagi adalah bahwa perbedaan yang selama ini
terjadi telah mengakibatkan tempat ibadah keduanya tidak bisa bersatu.
Kristalisasi nilai-nilai ini menjadikan masjid NU berbeda dengan masjid
Muhammadiyah. Perbedaan yang dimaksud dalam arti bahwa masjid NU tidak ditempati
atau digunakan oleh warga Muhammadiyah dan sebaliknya. Jika di suatu masjid
terlihat tidak ada zikiran yang panjang dan seru serta tidak ada kunut, orang NU
akan mengatakan bahwa itu masjid Muhammadiyah. Nampaknya kelompok reformis itu
terwakili oleh organisasi Muhammadiyah. Padahal, kelompok pembaru sesungguhnya
tidak hanya dari kalangan Muhammadiyah, masih banyak dari organisasi lain,
seperti Persatuan Islam (persis), Al-Irsyad, dan lain-lain sejenisnya, mereka
termasuk dalam kelompok pembaru. Namun, warga NU pada umumnya lebih mengenal
Muhammadiyah. Karena, organisasi tersebut memang yang lebih besar, dan terbesar
kedua setelah NU.
Dalam perjalanannya, NU pernah melibatkan diri dalam politik
praktis, yaitu menjadi partai politik (parpol) sejak tahun 1954 (Orde Lama). Ini
sebuah kesalahan besar bagi NU. Keberadaanya di kancah perpolitikan tidak
membuatnya semakin maju, justru menjadi semacam komoditas politik murahan bagi
kalangan politikus. Dengan pengalamannya yang pahit ini, di masa Orde Baru NU
memutuskan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan, dengan semangat kembali
ke "Khittah 26". Sejak kembalinya orientasi NU kepada Khittah NU pada muktamar
ke-27 di Situbondo Jawa Timur tahun 1984, NU berhasil melaksanakan mabadi
khaira ummah (prinsip dasar sebaik-baik umat) melalui pendekatan sosial
budaya, bukan pendekatan kekuasaan-politik, dengan diperhatikannya NU sebagai
jam'iyyah.
Keberhasilan mempertahankan NU sebagai jam'iyyah telah
memberi andil besar kepapa perkembangan pluralisme politik di kalangan NU
khususnya dan di masyarakat Indonesia pada umumnya, yang berarti telah
menyumbang kepada praktik dasar-dasar kehidupan demokratis. Keberhasilan ini
telah membangun citra NU sebagai organisasi yang cukup independent dalam
menghadapi gempuran-gempuran politik dari penguasa, sebagai perekat bangsa dan
pengayom kelompok minoritas. Di masa reformasi, ketika kran kebebasan mendirikan
organisasi politik terbuka, muncul desakan dari warga NU sendiri untuk kembali
menjadi parpol. Tetapi, belajar dari pengalaman masa lalu, NU berketetapan untuk
mempertahankan diri sebagai organisasi sosial keagamaan, konsisten dengan
Khittah 1926.
Masyarakat Pendukung NU
Masyarakat pendukung NU sangat beragam. Di satu pihak ada
kelompok ulama, intelektual, birokrasi, politisi, professional, seniman, dan
budayawan. Tokoh-tokoh elite merupakan tokoh-tokoh masyarakat yang sering
menjadi panutan bagi masyarakat, baik di desa maupun di perkotaan.
Nasihat-nasihat dan saran-saran biasanya didengarkan oleh masyarakat secara
umum. Kelompok inilah yang banyak memegang tampuk kepemimpinan NU di berbagai
tingkatan.
Selain itu, yang termasuk pendukung NU, bahkan pendukung
terbesar adalah petani, buruh, nelayan, pengusaha kecil, yang biasanya
digolongkan sebagai kelompok masyarakat akar rumput (rakyat jelata) yang
sebagian besar di daerah pedesaan.
Ciri Khas NU
Ciri khas NU, yang membuatnya berbeda dengan organisasi sejenis
lainnya adalah ajaran keagamaan NU tidak membunuh tradisi masyarakat, bahkan
tetap memeliharanya, yang dalam bentuknya yang sekarang merupakan asimilasi
antara ajaran Islam dan budaya setempat.
Ciri khas yang satu ini juga lebih unik, bagi warga nahdliyyin,
ulama merupakan maqam tertinggi karena diyakini sebagai waratsatul
anbiya'. Ulama tidak saja sebagai panutan bagi masyarakat dalam hal
kehidupan keagamaan, tetapi juga diikuti tindak tanduk keduniannya. Untuk sampai
ke tingkat itu, selain menguasai kitab-kitab salaf, Alquran dan hadis, harus ada
pengakuan dari masyarakat secara luas. Ulama dengan kedudukan seperti itu
(waratsatul anbiya') dipandang bisa mendatangkan barakah. Kedudukan yang
demikian tingginya ditandai dengan kepatuhan dan penghormatan anggota masyarakat
kepada para kiai NU.
Persaudaraan (ukhuwah) di kalangan nahdliyyin sangat
menonjol. Catatan sejarah menunjukkan bahwa dengan nilai persaudaraan itu, NU
ikut secara aktif dalam membangun visi kebangsaan Indonesia yang berkarakter
keindonesiaan. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan NU bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) adalah bentuk final dari perjuangan kebangsaan
masyarakat Indonesia. Komitmen yang selalu dikembangkan adalah komitmen
kebangsaan yang religius dan berbasis Islam yang inklusif.
Ciri menonjol lainnya adalah bahwa komunikasi di dalam NU lebih
bersifat personal dan tentu sangat informal. Implikasi yang sudah berjalan lama
menunjukkan bahwa performance fisik terlihat santai dan komunikasi
organisasional kurang efektif. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan organisasi
seringkali sulit mengikat kepada jamaah. Jamaah seringkali lebih taat kepada
kiai panutannya daripada taat kepada organisasi.
Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama
Untuk mengetahui lebih detail tentang organisasi keagamaan ini,
lebih baiknya dilihat dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU.
(Anggaran Dasar yang tertulis berikut ini berdasarkan Surat Keputusan Muktamar
XXX NU Nomor: 003/MNU-30/11/1999)
Mantab gan, ormas Islam lain di posting dong, buat tambah pengetahuan..
ReplyDelete