Seputar Hukum Suap (Risywah)
Risywah menurut terminolog inya mempunyai arti "sesuatu yang diberikan kepada seseorang dengan syarat bisa membantu kepada orang yang memberi" dan pemberian tersebut tidak bisa dikategori kan hadiah sebab bila hadiah pemberiann ya bukan karena mak sud tertentu.
Risywah secara fiqh: Adalah sebuah pemberian yang dimaksudka n untuk membenarka n sebuah hal yang batil atau membatalka n sesuatu yang haq.
Misbahul Munir halaman 244
الرِّشْوَة ُ- بِالكَسْرِ : مَا يُعْطِيْهِ الشَّحْصُ الحَاكِمَ وَغَيْرَهُ لِيَحْكُمَ لَهُ أَو يَحْمِلُهُ عَلَى مَا يُرِيْدُ
Risywah adalah apa yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau lainnya agar dia menetapkan hukum yang menguntung kan orang yang memberi atau hakim tersebut membawa dia sesuai dengan apa yang ia inginkan.
قَالَ الشَّيْخُ مُحَمَّدٌ بْنُ عُمَرَ نَوَوِي الْجَاوِيُ : وَأَخْذُ الرِّشْوَة ِ بِكَسْرِ الرَّاءِ وَهُوَ مَا يُعْطِيْهِ الشَّخْصُ لِحَاكِمٍ أَوْ غَيْرِهِ لِيَحْكُمَ لَهُ أَوْ يَحْمِلَهُ عَلىَ مَا يُرِيْدُ كَذَا فِي الْمِصْبَا حِ وَقَالَ صَاحِبُ التَّعْرِي ْفَاتِ وَهُوَ مَا يُعْطَى لإِبْطَالِ حَقٍّ أَوْ لإِحْقَاقِ بَاطِلٍ اهـ مرقاة صعود التصديق ص 74.
Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi (Syaikh Nawawi Banten) berkata: "Termasuk perbuatan maksiat adalah menerima suap/ risywah. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang hakim atau lainnya, agar keputusann ya memihak si pemberi atau mengikuti kemauan pemberi, sebagaiman a yang terdapat dalam kitab al-Mishbab .
Pengarang kitab al-Ta'rifa t berkata: "Suap adalah sesuatu yang diberikan karena bertujuan membatalka n kebenaran atau membenarka n kesalahan. "
(Mirqat Shu'ud al-Tashidi q, hal. 74).
Hukum Suap
Praktik suap menyuap di dalam agama Islam hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil syar’i berupa Al-Qur’an, Al-Hadits, dan ijma’ para ulama. Pelakunya dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya. Terdapat banyak dalil syar’i yang menjelaskan keharaman suap menyuap, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Dalil dari Al-Qur’an Al-Karim, firman Allah Ta’ala:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن جَآءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka……”. (QS. Al-Maidah: 42).
Di dalam menafsirkan ayat ini, Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas’ud radliyallahu’anhuma dan selainnya mengatakan bahwa yang dimaksud denganas-suhtu (sesuatu yang haram) adalah risywah (suap-menyuap). (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an karya imam Al-Qurthubi VI/119).
Berkenaan dengan ayat di atas, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullahmenyebutkan di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: “Jika seorang Qodhi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran”. (Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah XI/437).
Penafsiran ini semakna dengan firman Allah Ta’ala di dalam surat Al-Baqarah ayat 188 yang menjelaskan haramnya memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (188)
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an II/711).
Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Haitsami rahimahullah mengatakan, “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi kalian”. (Lihat Az-Zawajir ‘An Iqtirof Al-Kaba-ir, karya Haitsami I/131).
2. Dalil dari Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, diantaranya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى فِى الْحُكْمِ.
Dari Abu Hurairah radliyallahu ’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum.” (HR. Ahmad II/387 no.9019, At-Tirmidzi III/622 no.1387, Ibnu Hibban XI/467 no.5076)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
Dan diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud II/324 no.3580, At-Tirmidzi III/623no.1337, Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad II/164 no.6532, II/190 no.6778)
عن ثوبان قال : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Dan diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya.” (HR. Ahmad V/279 no.22452)
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar, karena pelakunya diancam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan Laknat dari Allah. Dan arti laknat ialah terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah. Al-Haitami rahimahullah memasukkan suap ke dalam dosa besar yang ke-32.
3. Dalil Ijma’
Para ulama telah sepakat secara ijma’ akan haramnya suap menyuap secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, dan Ash-Shan’ani, semoga Allah merahmati mereka semua. (Lihat Al-Mughni XI/437,An-Nihayah II/226, dan Subulussalam I/216).
Imam Al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab Tafsirnya mengatakan bahwa para ulama telah sepakat akan keharamannya. (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an VI/119).
Imam Ash-Shan’ani mengatakan, “Dan suap-menyuap itu haram berdasarkanIjma’, baik bagi seorang qodhi (hakim), bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 188). (Lihat Subulus Salam II/24).
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan, “Suap menyuap termasuk dosa besar karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap, sedangkan laknat tidaklah terjadi kecuali pada dosa-dosa besar. ” (Lihat Taudhihul Ahkam VII/119).
Pada dasarnya memberikan suap kepada siapapun hukumnya haram berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang telah kami sebutkan di atas. Hal ini karena terkandung di dalamnya banyak unsur kezholiman, seperti menzholimi hak orang lain, mengambil sesuatu yang bukan haknya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, mempengaruhi keputusan hakim yang merugikan pihak lain dan lain sebagainya.
Akan tetapi hukum suap akan berbeda dan berubah menjadi halal apabila tidak mengandung unsur kezholiman terhadap hak orang lain sedikit pun. Seperti memberikan suap untuk mengambil sesuatu dari haknya yang terhalang atau dipersulit oleh pihak tertentu, atau melakukan suap karena untuk mencegah bahaya yang lebih besar atau mewujudkan manfaat (yang sesuai dengan syariat) yang besar. Dalam keadaan seperti ini maka si pemberi suap tidak berdosa dan tidak terlaknat. Dosa suap menyuap dan laknat Allah tersebut hanya ditimpakan kepada penerima suap.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tentang memberikan uang suap, jika seorang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realita, maka memberi suap hukumnya haram. Sedangkan suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram (halal) sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.” (Lihat Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin IV/131).
Maka dari itu, sebagai contoh, apabila ada seseorang sudah ikut proses penerimaan PNS dengan benar kemudian ia diterima, atau seleksi calon Kepala Sekolah dengan benar dan kemudian dinyatakan layak, atau ada seseorang telah mengajukan permohonan KTP, SIM, PASPOR kepada pihak yang berwenang dengan syarat-syarat administrasi yang lengkap. Namun pada saat pengambilan hak nomor NIP tidak bisa keluar, atau SIM, KTP, dan PASPOR tidak dapat diperoleh karena pihak berwenang meminta sejumlah uang. Dalam keadaan seperti ini, hendaknya ia melaporkan kasus tersebut kepada pihak-pihak terkait yang berwenang mengawasi, menegur dan menjatuhkan sanksi kepada mereka serta memberikan hak kepada para pemilik hak. Akan tetapi jika seseorang hidup di suatu Negara yang tidak bisa memberikan jaminan hak kepada yang berhak menerimanya, maka pada kondisi seperti ini dibolehkan bagi calon PNS, dan orang yang mengajukan permohonan SIM, KTP dan PASPOR tersebut untuk membayar sejumlah uang kepada pihak berwenang agar Ia bisa mempunyai NIP dan memperoleh KTP, SIM dan PASPOR. Ia tidak menzhalimi siapapun, suap tersebut ia lakukan karena terpaksa dan hanya untuk mengambil hak dia saja. Ia tidak berdosa. Dosa hanya ditimpakan kepada pihak berwenang.
Hasil Bahtsul Masail NU Jawa Timur 2004 Di Ponpes Darussalam Blokagung Banyuwangi Tentang HUKUM MENJADI PNS DENGAN SUAP DAN STATUS GAJINYA
Deskripsi Masalah
Dibeberapa daerah ada penerimaan calon PNS yang dilaksnakan dengan cara tes tulis dan tes lesan, akan tetapi apabila ingin diterima harus membayar 45 sampai 60juta rupiah bagi mereka yung berijazah SLTA, dan 75 sampai 90 juta rupiah bagi mereka yang berijazah S1. Lebih parah lagi melibatkan sebagian anggota DPRD yang ada didaerah tersebut dan semua itu sudah menjadi rahasia umum didaerah itu.
Pertanyaan :
a. Apa hukum memberi dan menerima uang tersebut, tidak termasuk risywah ?
b. Bagaimana hukum hasil gaji pegawai negeri yang pada saat penerimaan ia memberikan sejumlah uang (menyogok) ?
Jawaban :
a.Jika yang memberi itu orang yang berhak untuk menjadi PNS atau tidak menyakiti / merugikan sesama muslim yang juga berhak, maka memberi itu boleh, sedang yang menerima hukumnya haram. Namun jika umtuk semata-mata agar diterima hajatnya, padahal dia bukan ahlinya maka dikatagorikan risywah sehingga yang memberi maupun yang menerima hukumnya haram.
b. Hasil pegawai negeri sipil (PNS) kalau memang dia bekerja sesuai dengan yang ditentukan dan dia memang bisa melaksanakan, maka hukumnya boleh dan halal, namun apabila dia (PNS) bekerja tidak sesuai tugasnya, maka gaji yang diterimanya hukumnya tidak boleh/haram.
Jadi tentang hukum suap dan gaji tidak terkait (berdiri sendiri).
Referensi :
1. Nihayatuz Zain, Hal : 370
2. Raudlah al Thalibin, Juz : 11 Hal : 144
3. Is’adur Rofiq, Juz : 2 Hal : 100
4. I’anatuttholibin, Juz : 2 Hal : 95
5. Nihayatul Muhtaj, Juz : 5 Hal : 291
6. Al Munjid, Hal : 102
7. Hamisy I’anatuttholibin, Juz : 2 Hal : 214
8. I’anatuttholibin IV/215
1. Nihayatuz Zain, Hal : 370
وقبول الرشوة حرام وهي ما يبذل للقاضي ليحكم بغير الحق أو ليمتنع من الحكم بالحق وإعطاؤها كذلك لأنه إعانة على معصية أما لو رشي ليحكم بالحق جاز الدفع وإن كان يحرم على القاضي الأخذ على الحكم مطلقا أي سواء أعطي من بيت المال أم لا ويجوز للقاضي أخذ الأجرة على الحكم لأنه شغله عن القيام بحقه
2. Raudlah al Thalibin, Juz : 11 Hal : 144
فرع قد ذكرنا أن الرشوة حرام مطلقا والهدية جائزة في بعض فيطلب الفرق بين حقيقتيهما مع أن الباذل راض فيهما والفرق من وجهين أحدهما ذكره ابن كج أن الرشوة هي التي يشرط على قابلها الحكم بغير الحق أو الامتناع عن الحكم بحق والهدية هي العطية المطلقة والثاني قال الغزالي في الإحياء المال إما يبذل لغرض آجل فهو قربة وصدقة وإما لعاجل وهو إما مال فهو هبة بشرط ثواب أو لتوقع ثواب وإما عمل فإن كان عملا محرما أو واجبا متعينا فهو رشوة وإن كان مباحا فإجارة أو جعالة وإما للتقرب والتودد إلى المبذول له فإن كان بمجرد نفسه فهدية وإن كان ليتوسل بجاهه إلى أغراض ومقاصد فإن كان جاهه بالعلم أو النسب فهو هدية وإن كان بالقضاء والعمل فهو رشوة
3. Is’adur Rofiq, Juz : 2 Hal : 100
(و)منها(أخذ الرشوة)ولوبحق (واعطاؤها)بباطل , ومثلهما السعىفيهما بين الراشىوالمرتشىقال تعالى – ولاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها الىالحكام – الأية. قال المفسرون : ليس المراد الأكل خاصة , ولكن لما كان هو المقصود الأعظم من الأموال خصه والمراد من الادلاء فى الآية الاسراع بالخصوصة فىالأموال , وقد لعن رسول الله صلىالله عليه وسلم الراشىوالمرتشىوالرائش -الى ان قال- فمن اعطى قاضيا أوحاكما رشوة أو أهدى اليه هدية فان كان ليحكم له بباطل أو ليتوصل بها لنيل مالا يستحقه أو لأذية مسلم فسق الراشى والمهدى بالإعطاء والمرتشى والمهدى اليه بالاخذ والرائش بالسعى , وان لم يقع حكم منه بعد ذلك أو ليحكم له بحق أو لدفع ظلم أو لينال ما يستحقه فسق الآخذ فقط ولم يأثم المعطى لاضطراره للتوصل لحق بأى طريق كانقضاءه إنما نفذ للضرورة ولا كذلك المال اه بجيرمي
4. I’anatuttholibin, Juz : 2 Hal : 95
وعبارة المغنى مع الأصل فإن باع من حرم عليه البيع صح بيعه وكذا سائر عقوده لأن النهي لمعنى خارج عن العقد أي وهو التشاغل عن صلاتها فلم يمنع الصحة كالصلاة في الدار المغصوبة اه
5. Nihayatul Muhtaj, Juz : 5 Hal : 291
وماجرت به العادة من جاكمية على ذلك فليس من باب الإجارة وانما هومن باب الارزاق والإحسان والمسامحة بخلاف الإجارة فانهامن باب المعاوضة
6. Al Munjid, Hal : 102
الجاكمية ج جاكميات والجومك ج جوامك : مرتب خدام الدولة من العسكرية والمملكية
7. Hamisy I’anatuttholibin, Juz : 2 Hal : 214
قوله فإن ولى سلطان أي مطلقا ذا شوكة كان أم لا بأن حبس أو أسر ولم يخلع فإن أحكامه تنفذ قوله ولو كافرا لم يذكر هذه الغاية في التحفة ولا في النهاية ولا غيرهما وهي مشكلة إذ السلطان يشترط فيه أن يكون مسلما وأما الكافر فلا تصح سلطنته إمامته ولو تغلب ولو أخرها عن قوله أو ذو شوكة وجعلها غاية له لأنه ممكن أن يكون كافرا أو عن أهل وجعلها غاية له وتكون بالنسبة للثاني للرد على الأذرعي القائل بعدم نفوذ تولية الكافر القضاء لكان أولىتأمل قوله أو ذو شوكة غيره السلطان قوله في بلد متعلق بمحذوف حال أي حال كون ذي الشوكة في بلد أي ناحية وقوله بأن انحصرت قوتها أي البلدة فيه أي ذي الشوكة والباء لتصوير كونه له شوكة في بلده وعبارة التحفة والنهاية بأن يكون بناحية انقطع غوث السلطان عنها ولم يرجعوا إلا إليه اه أهل مفعول ولىقوله كمقلد الخ تمثيل لغير الأهل قوله أي مع علمه أي المولي بكسر اللام سلطانا أو ذا شوكة وقوله بنحو فسقه أي المولى بفتح اللام قوله وإلا الخ أي وإن لم يعلم به وقوله ولو علم فسقه لم يوله الواو للحال أي والحال أنه لو كان يعلم بفسقه لم يوله وقوله فالظاهر الخ جواب إن الشرطية المدغمة في لا النافية وقوله كما جزم به شيخنا أي في فتح الجواد قوله وكذا لو زاد الخ أي وكذا لا ينفذ حكمه لو زاد فسقه بأن كان يشرب الخمر في الجمعة مرة فصار يشرب على خلاف العادة قوله أو ارتكب مفسقا آخر أي بأن كان يزني فصار يزني ويشرب الخمر قوله على تردد فيه أي فيما بعد كذا ممن زاد فسقه أو ارتكب مفسقا آخر قوله وجزم بعضهم بنفوذ توليته أي الفاسق مطلقاوقوله وإن عالم بفسقه هذا هو الفارق بين ما جزم به بعضهم وبين ما ذكره قبل قوله وكعبد الخ معطوف على قوله كمقلد قوله نفذ ما فعله أي المولى سلطانا أو ذا شوكة قوله من التولية بيان لماقوله وإن كان الخ غاية في نفوذ التولية أي تنفذ التولية وإن كان هناك أي في الناحية المولى الأهل مجتهد عدل قوله على المعتمد متعلق بنفذ قوله فينفذ قضاء مفرع على نفوذ التولية قوله للضرورة قال البلقيني يستفاد من ذلك أنه لو زالت شوكة من ولاه بموت أو نحوه انعزل لزوال الضرورة وأنه لو أخذ شيئا من بيت المال على ولاية القضاء أو جوامك في نظر الأوقاف استرد منه
0 Tanggapan untuk "Seputar Hukum Suap (Risywah)"
Post a Comment