Idul Adha: antara Qurban dan Korban
Barangkali jikalau sapi yang akan dijadikan hewan qurban itu dapat berbicara, ia akan bilang, “Mbok janganlah aku yang dijadikan sapi qurban, kalau pada akhirnya akan menimbulkan korban manusia, cukuplah jadikan aku sebagai sapi perahan saja, yang diqurbankan nanti biarlah “kambing hitam” saja”.
Sapi itu sesungguhnya tidak tahu bahwa yang menjadi korban “kambing hitam” nantinya ternyata adalah manusia juga. Namun paling tidak, sang sapi sudah terbebas dari dosa, karena tidak menjadi penyebab timbulnya korban manusia. Adapun yang meminta korban “kambing hitam” itu adalah manusia itu sendiri, meski sebetulnya, manusia tidak perlu merasa harus bertanggung jawab terhadap korban, karena itu hanyalah sebuah akibat dari situasi negeri yang memang sebagian besar taraf ekonomi manusianya menengah ke bawah (baca: kemiskinan). Keadaan ekonomi papan bawah adalah suratan takdir, suratan takdir adalah “kambing hitam” juga, yakni “kambing hitam” yang tidak dapat digugat.
Sebuah realitas yang menunjukkan manusia sebuah bangsa yang tidak dapat lagi berpikir bagaimana harus mempertahankan hidupnya. Sehingga, kesempatan idul qurban yang hanya sekali setahun itu dimanfaatkan untuk sekedar menyambung hidup, yakni menjadi pedagang daging dadakan untuk dijadikan uang. Makna qurban telah melenceng karena ekonomi, sehingga daging qurbannya pun tidak terasa lagi nikmatnya, yang ingin dirasakannya adalah nikmatnya uang untuk menutup kebutuhan hidup. Padahal sapi qurban tetap sapi qurban, tidak dapat diganti uang, orang rela terinjak-injak menjadi korban demi mendapatkan daging itu. “Qurban menimbulkan korban”.
Namun tidaklah pula hari raya qurban dapat berganti dengan hari raya korban, karena korban itu ada disebabkan harus berdesak-desakann untuk mendapatkan jatah daging qurban. Memang, qurban termasuk pengorbanan, tapi janganlah sampai qurban tersebut menimbulkan korban bagi saudara-saudara kita. Sesungguhnya, banyak cara dapat dilakukan untuk dapat menghindari jatuhnya korban.
Untuk itu, marilah kita hentikan sejenak segala lamunan dan ingatan kita kepada hal-hal yang serba materi dan kenikmatan ragawi. Marilah kita sisihkan sedikit waktu untuk bertafakur dan membuka hati tentang sebuah pesan di balik peringatan Idul Adha serta gema takbir, tahlil dan tahmid yang kita kumandangkan saat ini. Mengingatkan kita semua pada suatu peristiwa besar berupa pengorbanan untuk sesuatu nilai yang lebih tinggi dan agung.
Hari Raya Idul Adha merupakan momentum yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah ritual ibadah qurban. Dalam perspektif ajaran Islam, esensi ibadah qurban adalah refleksi keimanan dan ketaatan seorang hamba terhadap Sang Khalik, yang diharapkan juga punya implikasi terhadap kepeduliaan sosial dan pemberdayaan sosial. Seorang muslim yang telah memiliki kemampuan berqurban tetapi ia tidak melakukannya, dia dianggap belum sempurna kemuslimannya. Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk berqurban, tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati mushalla kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Akhirnya, Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, la ilaha illallahu, wallahu akbar, Allahu akbar walillahil-hamdu!! “Selamat Hari Raya Idul Adha 1437 H”, selamat berqurban, selamat mengorbankan jiwa raga kita untuk menggapai ridho-Nya :)
*Diadopsi dari tulisan lama di Kompasiana
0 Tanggapan untuk "Idul Adha: antara Qurban dan Korban"
Post a Comment