Berdayakan Milenial Lewat Pengelolaan Zakat Secara Optimal
Kinerja pemerintah untuk mengurangi jumlah pengangguran dalam lima tahun terakhir ini memang patut diacungi jempol. Bagaimana tidak, meskipun pertumbuhan ekonomi hanya berada di kisaran angka 5,2%, ternyata tingkat pengangguran terbuka (TPT) mampu ditekan hingga posisi 5,01%.
Sebagai warga negara, sudah pasti kita patut berbangga. Mengingat, angka tersebut merupakan angka pengangguran yang terendah dalam sejarah Indonesia. Kendati demikian, kita tetap tidak boleh jemawa ya! Pasalnya, dengan angka 5,01% itu ternyata Indonesia masih menduduki urutan kedua TPT terbesar di antara negara-negara ASEAN. Negara kita hanya ‘lebih baik’ dari Filipina yang memiliki tingkat pengangguran sebesar 5,1%.
Dari segi jumlah, angka 5,01% itu juga tidaklah sedikit loh. Sesuai data yang dirilis BPS per Februari 2019, jumlah angkatan kerja Indonesia itu sebanyak 136,18 juta orang. Artinya, masih ada 6,82 juta pengangguran di Indonesia yang harus menjadi keprihatinan kita bersama. Terlebih, sekitar 4 juta di antaranya merupakan kaum milenial, generasi yang digadang-gadang akan menjadi penentu Indonesia di masa yang akan datang.
Nah, untuk itulah, maka diperlukan berbagai solusi alternatif untuk mengatasi masalah pengangguran. Satu di antaranya, adalah melalui pengelolaan dana zakat secara optimal. Jika digali dan dimanfaatkan dengan baik, zakat dinilai oleh banyak pihak, mampu memegang peranan penting untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi yang ada. Terlebih, Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sudah barang tentu memiliki potensi zakat yang luar biasa.
Tak bisa dimungkiri, potensi zakat di Indonesia memang sangatlah besar. Hal tersebut tercermin dalam buku Indikator Pemetaan Potensi Zakat (IPPZ) yang dikeluarkan oleh Pusat Kajian Strategis Badan Amil Zakat Nasional (Puskas Baznas) pada 8 Juli 2019 yang lalu.
Berdasarkan perhitungan komponen IPPZ, potensi zakat di Indonesia itu mencapai Rp233,8 triliun. Jumlah tersebut berasal dari lima objek zakat, yaitu zakat pertanian sebesar Rp19,79 triliun, peternakan sebesar Rp9,51 triliun, uang sebesar Rp58,76 triliun, perusahaan sebesar Rp6,71 triliun, dan zakat penghasilan sebesar Rp139,07 triliun. Angka-angka yang luar biasa, bukan?
Sayangnya, dengan potensi zakat yang begitu besar tersebut, ternyata penghimpunan zakat yang terserap masih sangat kecil. Baznas mencatat, jika sepanjang tahun 2018, zakat yang terserap hanya sebesar Rp8,1 triliun saja, atau sekitar 3,4% dari jumlah potensi zakat yang semestinya. Padahal, digitalisasi zakat yang memberi kemudahan kepada masyarakat untuk membayar zakatnya melalui platform online juga sudah diterapkan oleh berbagai Organisasi Pengelola Zakat (OPZ).
Itulah sebabnya, mengapa saat ini perlu sekali dilakukan beberapa langkah nyata untuk menggali potensi zakat. Salah satunya, adalah melalui penguatan literasi zakat kepada masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, faktor utama kesenjangan antara potensi zakat dan realitanya adalah karena masih kurangnya kesadaran serta pemahaman umat Islam tentang zakat secara menyeluruh.
Upaya penguatan literasi zakat kepada masyarakat, sebenarnya memang sudah dilakukan oleh banyak pihak. Pemerintah melalui Bimas Islam Kementerian Agama misalnya, sudah melakukan berbagai sosialisasi dan edukasi, baik secara offline maupun online. Namun, karena terbatasnya waktu dan tenaga, hasilnya pun belum merata hingga ke semua lapisan masyarakat.
Maka dari itu, kini peran serta masyarakat yang sudah ‘melek zakat’ pun sangat diharapkan agar program penguatan literasi zakat ini lebih cepat tersampaikan. Dengan tingkat literasi zakat yang tinggi, diharapkan kesadaran masyarakat dalam berzakat akan semakin meningkat.
Tak hanya menguatkan literasi zakat, keberadaan regulasi perzakatan juga diperlukan untuk memangkas gap antara potensi zakat dan realisasi penghimpunannya. Regulasi yang dimaksud di sini adalah aturan terkait kewajiban zakat bagi seluruh umat Islam. Jadi, baik pemilik usaha ataupun para pekerja yang memiliki omset atau penghasilan lebih dari nishab atau batas minimal wajib zakat, maka ia harus dikenakan kewajiban berzakat.
Langkah ini sudah terbukti efektif diterapkan di beberapa daerah. Satu contoh saja, adalah regulasi tentang kewajiban zakat bagi para ASN di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Sejak diterbitkannya Surat Edaran Gubernur Jateng Nomor 451/0000571 tanggal 17 Januari 2019 tentang pemotongan gaji sebesar 2,5% bagi sekitar 42.679 ASN-nya, penerimaan zakat oleh Baznas Jateng pun meningkat hampir dua kali lipat, dari Rp2,4 miliar menjadi Rp4,7 miliar per bulannya.
Nah, jika kebijakan-kebijakan semacam itu mau dan mampu diterapkan dalam skala nasional, tidaklah mustahil jika penerimaan zakat pun akan meningkat dengan pesat. Dan, akhirnya dana zakat pun akan lebih mumpuni untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi, termasuk untuk memberdayakan generasi milenial yang belum memiliki pekerjaan.
Secara umum, penyaluran dana zakat oleh lembaga-lembaga pengelola zakat yang mengantongi izin dari Kemenag memang sudah bisa dikatakan cukup baik. Selain terlihat dari jumlah total penyaluran dana zakat secara nasional yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, pemanfaatannya juga tidak hanya sebatas untuk kebutuhan konsumtif semata.
Lebih dari itu, semua lembaga-lembaga pengelola zakat tersebut juga sudah menyalurkan dana zakatnya untuk kegiatan produktif di berbagai bidang. Mulai dari bidang kesehatan, sosial, pendidikan, hingga ekonomi.
Di dalam bidang kesehatan, misalnya, ada program Rumah Sehat BAZNAS Indonesia serta program Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC) milik Dompet Dhuafa Republika. Dalam bidang sosial, ada program Layanan Aktif BAZNAS (LAB) dan berbagai program dalam Social Development yang digulirkan oleh Dompet Dhuafa.
Tak ketinggalan juga dalam bidang pendidikan. Di lini ini, ada Sekolah Menengah Pertama Cendekia yang dikelola oleh BAZNAS dan Sekolah Satya Cendekia yang dikelola Dompet Dhuafa. Berbagai program tersebut merupakan beberapa bentuk nyata pemanfaatan dana zakat secara produktif dalam bidang kesehatan, sosial dan pendidikan.
Lantas, bagaimana pemanfaatan zakat produktif dalam bidang ekonomi? Selain memiliki lembaga BAZNAS Microfinance (BMFi) yang memberi bantuan pembiayaan produktif kepada mustahik dengan prinsip nonprofit untuk pengembangan usaha, BAZNAS juga mengadakan program pelatihan berbagai keterampilan dengan menggandeng Balai Latihan Kerja yang tersebar di daerah-daerah.
Sementara itu, Dompet Dhuafa juga memiliki program Sedekah Ternak, Institut Kemandirian, hingga Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang bertujuan untuk membantu berbagai pembiayaan kalangan ekonomi lemah. Program-program zakat produktif dalam bidang ekonomi seperti inilah yang memang akan menjadi solusi alternatif untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi, termasuk masalah pengangguran.
Namun, mengingat sebagian besar pengangguran adalah mereka yang masuk dalam kategori generasi milenial, maka agar pemanfaatan dana zakat produktif lebih tepat sasaran, kita semua tentu berharap agar lembaga-lembaga zakat semisal BAZNAS dan Dompet Dhuafa ini juga memberikan pelatihan berbagai keterampilan yang dibutuhkan di era Revolusi Industri 4.0 ini.
Asal tahu saja, sejak era Revolusi Industri 4.0 bergulir, banyak sekali pergeseran dalam dunia kerja. Otomatisasi dan digitalisasi di era ini menyebabkan hilangnya banyak pekerjaan dan memunculkan profesi-profesi baru. Nyaris, hanya daya kreativitaslah yang belum bisa digantikan oleh mesin. Oleh karena itu, mau tidak mau generasi milenial pun harus kreatif jika tidak ingin tertinggal di era Revolusi Industri 4.0 ini.
Lembaga-lembaga pengelola zakat yang concern dalam bidang ekonomi pun harus ikut berbenah dan melebarkan sayapnya. Pemanfaatan dana zakat produktif bagi mustahik generasi milenial semestinya tak sekadar untuk pelatihan serta modal usaha dalam bidang perdagangan, pertanian, pekebunan, ataupun peternakan saja.
Lebih dari itu, juga diarahkan untuk keterampilan yang dibutuhkan di era ini, seperti web developer, aplikasi developer, content creator, content writer, spesialis media sosial, SEO spesialist hingga digital marketing. Tentu saja, termasuk dalam hal bantuan modal yang diarahkan pada perangkat yang mendukung usaha atau bisnis di era Revolusi Industri 4.0, seperti perangkat komputer, laptop, serta jaringan internet.
Dengan memanfaatkan dana zakat secara optimal untuk pelatihan berbagai keterampilan tersebut, bantuan modal berbagai peralatan digital, serta pendampingan yang tepat, mustahik generasi milenial yang jumlahnya menyentuh angka 4 jutaan ini pun insya Allah akan lebih mampu berdaya di era yang penuh dengan persaingan yang ketat ini.
Akhirnya, mari tunaikan zakat, ikut serta menguatkan literasi zakat, serta memberdayakan generasi milenial dengan mengelola zakat secara optimal!
***
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog Festival Literasi Zakat Wakaf 2019
Sudah seharusnya zakat memang digunakan untuk pemberdayaan generasi milenial yg masih nganggur. Idenya bagus, Mas.
ReplyDeleteBenar sekali Mas. Ini kalau benar-benar bisa memaksimalkan potensi zakat, pengangguran pasti berkurang drastis.
DeleteMantap, sharing informasinya sederhana.
ReplyDelete