Merdeka Energi dengan Kotoran Sapi
Kinerja pemerintah untuk merampungkan program konversi bahan bakar minyak ke LPG dalam beberapa tahun terakhir ini memang patut diacungi jempol. Terbukti, konsumsi LPG dari tahun ke tahun terus meningkat. Berdasarkan Outlook Energi Indonesia 2018, konsumsi LPG masyarakat Indonesia pada periode tahun 2017 masih di angka 7,1 juta ton. Sementara pada tahun 2018—merujuk pada Outlook Energi Indonesia 2019—konsumsi LPG sudah mencapai 7,5 juta ton.
Sayangnya, keberhasilan tersebut tidak diimbangi dengan penyediaan LPG dari kilang LPG dan kilang minyak di dalam negeri. Alhasil, volume impor LPG pun semakin hari semakin meningkat. Pada tahun 2018 dan 2019 yang lalu, pemerintah harus mengimpor LPG masing-masing 5,5 juta ton dan 5,7 ton. Padahal pada setahun sebelumnya, impor LPG masih di angka 4,9 ton. Angka-angka ini tentu saja akan terus meningkat. Mengingat, besaran cadangan minyak bumi sebagai bahan baku pembuatan LPG memang cenderung mengalami penurunan.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Mustafid Gunawan beberapa waktu yang lalu pernah menyampaikan, bahwa cadangan minyak Indonesia pada tahun 2019 hanya tersisa 3.775 miliar barel saja. Jika tidak ada tambahan cadangan baru, dalam 9,22 tahun lagi diprediksi cadangan minyak negara kita pun akan habis. Saat hal itu terjadi, maka pemerintah hanya bisa mengandalkan pasokan LPG dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan LPG dalam negeri.
Krisis energi tersebut tentu akan semakin parah jika stok gas alam dan batubara negara kita juga habis. Berdasarkan data Capaian Kinerja yang dirilis Kementerian ESDM pada tahun 2019 yang lalu, dari pembangkit dengan total kapasitas sebesar 69,1 gigawatt, Indonesia menghasilkan 275 TWh listrik. Ironisnya, sekitar 86% listrik tersebut ternyata dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga energi fosil, yakni batubara, gas, dan diesel. Padahal jika tidak ada eksplorasi baru, cadangan gas kita diprediksi akan habis dalam waktu 21,86 tahun lagi, sedangkan ‘emas hitam’ sekitar 40 tahun lagi.
Menipisnya energi fosil memang sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Namun patut disyukuri, sebagian kecil masyarakat kita sudah menyadarinya dengan melakukan beberapa langkah konservasi energi. Tak sekadar melakukan penghematan, mereka juga memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi sehari-hari.
Edi Sarwoko, misalnya. Salah satu anggota Kelompok Ternak Bina Lestari asal Dusun Wunut, Desa Tangkisan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah itu sudah lebih dari tiga tahun ini tidak membeli LPG untuk kebutuhan masaknya. Pasalnya sejak pertengahan tahun 2017 yang lalu, dengan bantuan saudaranya yang menjadi dosen di sebuah universitas di Jawa Tengah, ia berhasil mengubah kotoran sapi menjadi biogas.
Menurut pria 48 tahun tersebut, mengolah kotoran sapi menjadi biogas itu tidaklah sesulit yang dibayangkan. Cukup dengan memasukkan kotoran sapi ke dalam selokan penampungan, kemudian mengguyurnya dengan air agar masuk ke dalam mixer. Di dalam mixer tersebut, kotoran sapi diolah sedemikian rupa sebelum dimasukkan ke dalam tabung reaktor atau digester.
Dari alat yang bagian atasnya berbentuk seperti kubah tersebutlah, biogas ditampung kemudian dialirkan ke kompor melalui pipa-pipa. Hasilnya, belasan tetangga di sekitar rumahnya pun tak pernah lagi membeli gas LPG, karena biogas dari kotoran sapi milik Edi Sarwoko ini telah mencukupi untuk kebutuhan memasak mereka sehari-hari.
Setali tiga uang dengan Edi Sarwoko, di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, para peternak yang tergabung dalam Kelompok Tani Sumber Makmur juga berhasil menyulap kotoran sapi sebagai biogas. Bedanya, pemanfaatan biogas di Dusun Jetak, Desa Urutsewu, Kecamatan Ampel ini tidak sebatas sebagai bahan bakar untuk memasak saja. Melainkan, juga sebagai bahan bakar genset yang menghasilkan energi listrik untuk menyalakan lampu dan beberapa peralatan elektronik.
Kelompok tani dan ternak di kedua desa tersebut merupakan potret kecil dari masyarakat yang sadar akan konservasi energi. Upaya mereka yang ikut mengantarkan desanya mendapatkan penghargaan Desa Mandiri Energi 2020 dari Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah ini juga membuka mata pengetahuan kita, bahwa limbah peternakan sapi ternyata bisa menjadikan mereka merdeka dalam hal energi.
Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, serta stakeholder yang sadar dan peduli akan ancaman krisis energi pun kini sangat diharapkan untuk mewujudkan desa-desa mandiri energi yang lain. Desa Mandiri Energi merupakan desa yang masyarakatnya mampu memenuhi kebutuhan energi lebih dari 60%—baik untuk bahan bakar maupun listrik—dari EBT yang dihasilkan melalui pemanfaatan potensi sumberdaya setempat.
Tak bisa dimungkiri, Indonesia sejatinya sangat kaya akan potensi energi terbarukan. Tak hanya melimpah dengan berbagai limbah yang bisa diubah menjadi bioetanol, biodiesel, ataupun biogas, negeri yang kini berusia tiga perempat abad ini ternyata juga kaya akan energi terbarukan yang lain. Sebut saja, energi surya, air, angin, laut, dan panas bumi.
Menurut data yang dirilis Institute for Essential Services Reform (IESR)—dengan teknologi yang ada saat ini—potensi listrik dari energi terbarukan di Indonesia mencapai 442 gigawatt. Adapun potensi limbah organik yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas dan biodiesel mencapai 39 juta ton per hari. Potensi yang sangat besar, bukan?
Tentu saja menjadi tugas berat kita bersama untuk menggali potensi besar energi terbarukan yang tersebar di lebih dari 80 ribu desa di 34 provinsi di seluruh penjuru nusantara tersebut. Mengingat, saat ini baru 8,8 gigawatt listrik yang memanfaatkan energi terbarukan atau sekitar 14% saja dari total kapasitas pembangkit listrik di seluruh Indonesia. Demikian halnya dengan pemanfaatan limbah organik yang masih di angka 1,24% saja atau sekitar 483,6 ribu ton per harinya.
Selain mempercepat berbagai pembangunan infrastruktur pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan serta meningkatkan porsi EBT pada bauran energi nasional, untuk segera menuju negeri yang merdeka energi, pemerintah sepertinya memang wajib menggandeng masyarakat mulai dari komunitas yang terkecil, yaitu desa. Sebagaimana strategi Presiden Joko Widodo yang melakukan pembangunan dari desa untuk menghadirkan pemerataan ekonomi di tanah air, mewujudkan Indonesia yang mandiri energi pun tentu akan lebih efektif dan efisien jika dilakukan dari desa-desa.
Alur sederhananya, setelah banyak desa menjadi desa mandiri energi, mewujudkan kabupaten atau kota hingga provinsi yang mandiri energi—bahkan mandiri energi secara nasional—tentu lebih mudah. Oleh karena itu, agaknya tidaklah berlebihan jika kita semua berharap agar Program Dana Desa sudah bergulir sejak lima tahun yang lalu tidak sekadar mampu mengubah berbagai potensi desa menjadi kekuatan ekonomi semata. Lebih dari itu, juga sebagai modal dalam penyediaan alat teknologi seperti digester, turbin, panel surya dan peralatan lainnya yang mampu mengubah potensi sumberdaya desa menjadi kekuatan energi.
Dengan berbekal modal tersebut serta kerjasama yang apik antara semua pihak, desa yang tidak memiliki sumberdaya limbah pertanian, tentu bisa mengembangkan energi berbasis air, tenaga surya, angin, ataupun limbah rumah tangga. Sedangkan bagi desa yang memiliki potensi limbah pertanian dan peternakan, bisa mengembangkan energi berbasis biomassa. Harapannya, tak lain tak bukan adalah agar terwujud desa-desa yang merdeka energi di seluruh pelosok negeri, seperti halnya Desa Tangkisan dan Desa Urutwatu yang sudah merdeka energi dengan kotoran sapi.
Sayangnya, keberhasilan tersebut tidak diimbangi dengan penyediaan LPG dari kilang LPG dan kilang minyak di dalam negeri. Alhasil, volume impor LPG pun semakin hari semakin meningkat. Pada tahun 2018 dan 2019 yang lalu, pemerintah harus mengimpor LPG masing-masing 5,5 juta ton dan 5,7 ton. Padahal pada setahun sebelumnya, impor LPG masih di angka 4,9 ton. Angka-angka ini tentu saja akan terus meningkat. Mengingat, besaran cadangan minyak bumi sebagai bahan baku pembuatan LPG memang cenderung mengalami penurunan.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Mustafid Gunawan beberapa waktu yang lalu pernah menyampaikan, bahwa cadangan minyak Indonesia pada tahun 2019 hanya tersisa 3.775 miliar barel saja. Jika tidak ada tambahan cadangan baru, dalam 9,22 tahun lagi diprediksi cadangan minyak negara kita pun akan habis. Saat hal itu terjadi, maka pemerintah hanya bisa mengandalkan pasokan LPG dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan LPG dalam negeri.
Krisis energi tersebut tentu akan semakin parah jika stok gas alam dan batubara negara kita juga habis. Berdasarkan data Capaian Kinerja yang dirilis Kementerian ESDM pada tahun 2019 yang lalu, dari pembangkit dengan total kapasitas sebesar 69,1 gigawatt, Indonesia menghasilkan 275 TWh listrik. Ironisnya, sekitar 86% listrik tersebut ternyata dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga energi fosil, yakni batubara, gas, dan diesel. Padahal jika tidak ada eksplorasi baru, cadangan gas kita diprediksi akan habis dalam waktu 21,86 tahun lagi, sedangkan ‘emas hitam’ sekitar 40 tahun lagi.
Menipisnya energi fosil memang sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Namun patut disyukuri, sebagian kecil masyarakat kita sudah menyadarinya dengan melakukan beberapa langkah konservasi energi. Tak sekadar melakukan penghematan, mereka juga memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi sehari-hari.
Edi Sarwoko, misalnya. Salah satu anggota Kelompok Ternak Bina Lestari asal Dusun Wunut, Desa Tangkisan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah itu sudah lebih dari tiga tahun ini tidak membeli LPG untuk kebutuhan masaknya. Pasalnya sejak pertengahan tahun 2017 yang lalu, dengan bantuan saudaranya yang menjadi dosen di sebuah universitas di Jawa Tengah, ia berhasil mengubah kotoran sapi menjadi biogas.
Menurut pria 48 tahun tersebut, mengolah kotoran sapi menjadi biogas itu tidaklah sesulit yang dibayangkan. Cukup dengan memasukkan kotoran sapi ke dalam selokan penampungan, kemudian mengguyurnya dengan air agar masuk ke dalam mixer. Di dalam mixer tersebut, kotoran sapi diolah sedemikian rupa sebelum dimasukkan ke dalam tabung reaktor atau digester.
Dari alat yang bagian atasnya berbentuk seperti kubah tersebutlah, biogas ditampung kemudian dialirkan ke kompor melalui pipa-pipa. Hasilnya, belasan tetangga di sekitar rumahnya pun tak pernah lagi membeli gas LPG, karena biogas dari kotoran sapi milik Edi Sarwoko ini telah mencukupi untuk kebutuhan memasak mereka sehari-hari.
Setali tiga uang dengan Edi Sarwoko, di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, para peternak yang tergabung dalam Kelompok Tani Sumber Makmur juga berhasil menyulap kotoran sapi sebagai biogas. Bedanya, pemanfaatan biogas di Dusun Jetak, Desa Urutsewu, Kecamatan Ampel ini tidak sebatas sebagai bahan bakar untuk memasak saja. Melainkan, juga sebagai bahan bakar genset yang menghasilkan energi listrik untuk menyalakan lampu dan beberapa peralatan elektronik.
Kelompok tani dan ternak di kedua desa tersebut merupakan potret kecil dari masyarakat yang sadar akan konservasi energi. Upaya mereka yang ikut mengantarkan desanya mendapatkan penghargaan Desa Mandiri Energi 2020 dari Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah ini juga membuka mata pengetahuan kita, bahwa limbah peternakan sapi ternyata bisa menjadikan mereka merdeka dalam hal energi.
Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, serta stakeholder yang sadar dan peduli akan ancaman krisis energi pun kini sangat diharapkan untuk mewujudkan desa-desa mandiri energi yang lain. Desa Mandiri Energi merupakan desa yang masyarakatnya mampu memenuhi kebutuhan energi lebih dari 60%—baik untuk bahan bakar maupun listrik—dari EBT yang dihasilkan melalui pemanfaatan potensi sumberdaya setempat.
Tak bisa dimungkiri, Indonesia sejatinya sangat kaya akan potensi energi terbarukan. Tak hanya melimpah dengan berbagai limbah yang bisa diubah menjadi bioetanol, biodiesel, ataupun biogas, negeri yang kini berusia tiga perempat abad ini ternyata juga kaya akan energi terbarukan yang lain. Sebut saja, energi surya, air, angin, laut, dan panas bumi.
Menurut data yang dirilis Institute for Essential Services Reform (IESR)—dengan teknologi yang ada saat ini—potensi listrik dari energi terbarukan di Indonesia mencapai 442 gigawatt. Adapun potensi limbah organik yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas dan biodiesel mencapai 39 juta ton per hari. Potensi yang sangat besar, bukan?
Tentu saja menjadi tugas berat kita bersama untuk menggali potensi besar energi terbarukan yang tersebar di lebih dari 80 ribu desa di 34 provinsi di seluruh penjuru nusantara tersebut. Mengingat, saat ini baru 8,8 gigawatt listrik yang memanfaatkan energi terbarukan atau sekitar 14% saja dari total kapasitas pembangkit listrik di seluruh Indonesia. Demikian halnya dengan pemanfaatan limbah organik yang masih di angka 1,24% saja atau sekitar 483,6 ribu ton per harinya.
Selain mempercepat berbagai pembangunan infrastruktur pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan serta meningkatkan porsi EBT pada bauran energi nasional, untuk segera menuju negeri yang merdeka energi, pemerintah sepertinya memang wajib menggandeng masyarakat mulai dari komunitas yang terkecil, yaitu desa. Sebagaimana strategi Presiden Joko Widodo yang melakukan pembangunan dari desa untuk menghadirkan pemerataan ekonomi di tanah air, mewujudkan Indonesia yang mandiri energi pun tentu akan lebih efektif dan efisien jika dilakukan dari desa-desa.
Alur sederhananya, setelah banyak desa menjadi desa mandiri energi, mewujudkan kabupaten atau kota hingga provinsi yang mandiri energi—bahkan mandiri energi secara nasional—tentu lebih mudah. Oleh karena itu, agaknya tidaklah berlebihan jika kita semua berharap agar Program Dana Desa sudah bergulir sejak lima tahun yang lalu tidak sekadar mampu mengubah berbagai potensi desa menjadi kekuatan ekonomi semata. Lebih dari itu, juga sebagai modal dalam penyediaan alat teknologi seperti digester, turbin, panel surya dan peralatan lainnya yang mampu mengubah potensi sumberdaya desa menjadi kekuatan energi.
Dengan berbekal modal tersebut serta kerjasama yang apik antara semua pihak, desa yang tidak memiliki sumberdaya limbah pertanian, tentu bisa mengembangkan energi berbasis air, tenaga surya, angin, ataupun limbah rumah tangga. Sedangkan bagi desa yang memiliki potensi limbah pertanian dan peternakan, bisa mengembangkan energi berbasis biomassa. Harapannya, tak lain tak bukan adalah agar terwujud desa-desa yang merdeka energi di seluruh pelosok negeri, seperti halnya Desa Tangkisan dan Desa Urutwatu yang sudah merdeka energi dengan kotoran sapi.
***
Wah, keren ya kalau ada kampung yang mampu menyediakan listrik bagi warganya sendiri dengan memanfaatkan kotoran ternak. Nggak hanya hemat, tapi juga pemanfaatan sampah yang jika dibiarkan akan mengganggu lingkungan
ReplyDeleteKeren banget, Mbak. Selain hemat dan mengurangi pencemaran lingkungan, pemanfaatan kotoran ternak sebagai biogas juga mengurangi impor LPG serta ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang suatu saat akan habis.
DeleteSangat positif jika banyak orang yang mulai memanfaatkan sumber energi alternatif, seperti biogas ini. Penggunaan biogas bisa mengurangi pengeluaran warga. Mungkin perlu ditambahkan, berapa biaya yg dikeluarkan untuk instalasinya.
ReplyDeleteBetul, untuk instalasi sederhana sepertinya tidak begitu mahal. Karena ada beberapa orang yang secara mandiri membuat instalasi biogas dengan biaya sekitar 3 jutaan. Bagi masyarakat ekonomi bawah mungkin memang dirasa cukup berat, makanya saya berharap bantuan pemerintah semacam Dana Desa bisa dimanfaatkan untuk pembangunan instalasi ini.
Deletekotoran sapi bisa diubah menjadi energi listrik yang bermanfaat, tentunya ini sangat membantu masyarakat yang butuh penerangan namun dengan biaya minim. Semoga upaya seperti ini aku berkelanjutan demi memenuhi kebutuhan akan energi listrik, utamanya di daerah terpencil.
ReplyDeleteMembaca tulisan ini mengingatkan saya akan tugas praktek di salah satu mata pelajaran semasa SMA. Kami diminta berlatih membuat biomassa dari kotoran sapi dan kambing. Luar biasa sekali prosesnya, mulai dari menggali, menyiapkan kotoran, hingga memasang selang penghubung. Pun perlu menunggu kurang lebih sekitar 2 minggu hingga energi gasnya bisa dipakai dan disambungkan ke kompor. Sayang, tim saya waktu itu gagal membuatnya.
ReplyDeletedulu ku pernah ikutan proyek dosenku yang meneliti sosial ekonomi petani yang menggunakan energi dari kotoran sapi. salah satu energi terbarukan yang mampu membawa perubahan signifikan di desa itu kaang. Dulu aku ngerjai di Batu MAlang
ReplyDeleteKayak calon pemenang nih tulisan ini
ReplyDeletebiogas ya hitungannya dari kotoran sapi
jadi ingat di bali waktu itu kotoran babi
Semoga Program Dana Desa bisa mengubah berbagai potensi desa menjadi kekuatan ekonomi dan mampu mengubah potensi sumberdaya desa menjadi kekuatan energi.
ReplyDeleteKeren ya Indonesia terus berupaya dalam bidang energi terbarukan demi ketersediaan energi hingga generasi yang akan datang. Aku ingat dulu di salah satu daerah di Malang ada yang secara aktif memanfaatkan kotoran sapi sebagai sumber energi biogas. Dan itu sudah berlangsung beberapa tahun lalu.
ReplyDeleteSaya malah baru tahu kotoran sapi bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi biogas, *duh kemana saja saya selama ini
ReplyDeleteEh tapi bagus sekali idenya ini. Tentu jika diterapkan, daerah di pedesaan bisa hidup lebih mandiri dan hemat...